Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berimajinasi Indahnya Swiss dan Liechtenstein

23 Desember 2015   17:37 Diperbarui: 23 Desember 2015   17:37 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Buku      : Cinta yang Tertinggal di Swiss dan Liechtenstein
Penulis            : Christie Damayanti
Editor              : Syee
Penerbit          : LeutikaPrio, Yogyakarta
Tahun Terbit    : Oktober 2015
Tebal              : viii + 208  halaman
ISBN               : 978-602-371-125-3  
 
‪
Membaca buku ini pertama-tama, saya merasa aneh, karena saya melihat pada cover buku tertulis "Fam's Journey in Europe part 1", namun pada bab 1 disebutkan setelah perjalanan beberapa hari di Belanda dan Belgia, sehingga setibanya di Zurich langsung harus ke hotel untuk beristirahat. Ternyata memang ada salah cetak, buku yang saya baca ini ternyata bagian ke dua, dari rencana empat buku. Akan dilanjutkan dengan seri Perancis dan Italia.

Ketika melihat rencana perjalanan Jakarta - Amsterdam - Zurich - Paris - Roma - Jakarta, sepertinya ada yang salah, karena jarak terlalu panjang, entah kesalahan penulis entah kesalahan agen perjalanan, sehingga penulis sedikit mengeluh dengan mahalnya harga tiket pesawat. Menurut pengalaman saya, lebih ekonomis dan efisien bila mengambil rute Jakarta - Amsterdam - Paris - Zurich - Roma - Jakarta, yang garisnya lebih linier.

Susunan Buku

Buku ini terdiri dari 36 bab dengan didominasi oleh kisah perjalanan di Swiss yang meliputi Zurich, Mount Pilatus, Mount Titlis, Engelberg dan Lucerne (34 bab) dan hanya menyisakan 2 bab untuk negara terkecil di dunia Liechtenstein.

Dari Zurich hingga Lucerne

Diawali dengan kisah pahit ketika menghitung sisa uang Euro didompet. Ada kartu kredit tetapi belum menggunakan pin, jadi bagi pemegang kartu kredit harus siap dengan pin bila berwisata ke Eropa. Karena sebagian besar merchant di Eropa hanya mau menerima penggunaan kartu kredit dengan pin, penggunaan tanda tangan sudah jarang sekali.

Di Zurich, penulis melakukan city tour dengan bis dan kapal pesiar. Harus rela mengeluarkan biaya untuk menikmati danau Zurich yang indah (hal. 22).

Zurich sebuah kota tua, namun mampu mengadaptasi konsep sebuah kota modern yang mendunia. Zurich juga membatasi ketinggian gedung pencakar langit. Landmark kota Zurich adalah Munsterhof Square. Banyak dijumpai bangunan dengan nilai arsitektur tinggi yang mengadopsi arasitektur modern (hal. 30). Kota Zurich juga sangat peduli dengan kaum disabled (hal. 44).

Tour berikutnya menuju Mount Titlis dimana terdapat salju abadi, dengan melalui Mount Pilatus, pulangnya melalui kota Engelberg dan Lucerne atau Luzern. Sebenarnya pemandangan alam Indonesia tidak kalah bila dibandingkan dengan Swiss. Hanya kelemahan Indonesia, masyarakatnya belum mempedulikan lingkungan (hal. 67).

Pengalaman makan siang termahal di Mount Titlis diceritakan dengan rinci. Sempat menemukan saus BBQ dengan nama "Sambel Oelek" tetapi made in Thailand (hal. 89-90).

Setelah menikmati kota Engelberg yang indah, perjalanan dilanjutkan ke kota yang memiliki dua sebutan tergantung bahasa, Lucerne (bahasa Italia) atau Luzern (bahasa Perancis) dimana boleh belanja jam dan coklat.

Banyak terowongan harus dilalui dalam perjalanan darat di Swiss yang diceritakan secara khuus pada bab 29.

Kartu Pos Liechtenstein

Penulis memiliki tautan khusus dengan negara kecil ini, karena suratnya pernah dibalas oleh Prince Franz Josef II, saat ia masih kanak-kanak. Negara kecil ini sulit dicari di peta, beribukota Vaduz.

Seringkali ditawarkan oleh pemandu wisata untuk mendapatkan tambahan tips dengan alasan menambah kunjungan satu negara.

Liechtenstein memiliki souvenir yang khas dan murah meriah yakni kartu pos, semua kartu pos bergambar perangko yang diterbitkan negara tersebut (hal. 204).

Kritik dan Saran

Membaca buku ini merupakan flash back bagi saya yang pernah mengunjungi Eropa, meski dengan rute kebalikannya, yakni Jakarta - Roma - Zurich - Paris - Amsterdam - Jakarta, namun lebih puas karena menggunakan jalan darat. Yang tidak mungkin dilakukan oleh penulis karena keterbatasan fisiknya.

Buku ini sebuah buku wisata namun pelit dengan foto, sehingga pembaca harus berani berimajinasi secara kuat, karena tidak ada satupun foto di halaman isi, hanya ada foto pada cover buku saja.

Buku ini sangat disarankan untuk dibaca oleh semua orang yang ingin mengetahui menghitung besarnya dana yang harus disiapkan untuk perjalanan ke Eropa. Karena pada buku ini detil harga tiket, harga tour dan makanan dituliskan dengan rinci, tentunya agar Anda tidak sampai kehabisan uang tunai seperti yang dialami penulis (hal. 7-13).

Buku ini ditulis oleh seorang yang berhasil sembuh dari stroke, lumpuh separuh badan dan harus berkursi roda kemana-mana. Ditulis dengan bahasa yang mengalir, enak dibaca dimanapun, namun mampu menginspirasi siapapun.

Buku ini diluncurkan tanggal 20 Desember 2015 di Kalibata City Square, yang dihadiri Dewi Motik Pramono dan sejumlah Kompasianers.

Ibu Christie ditunggu kisah-kisah perjalanan berikutnya, tentunya kalau bisa ditambahkan foto-fotonya yang indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun