Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manfaatkan Kearifan DPD-RI Guna Membenahi Negara yang Salah Urus

18 Juli 2015   15:13 Diperbarui: 18 Juli 2015   15:27 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah hampir berusia 70 tahun, namun cita-cita agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih belum juga terwujud. Selalu ada dalih, bahwa Amerika Serikat untuk mencapai tingkat kemakmuran seperti saat ini membutuhkan waktu ratusan tahun.

Dengan luas daratan sekitar 1,92 juta km persegi dan luas lautan dua kali luas daratan, NKRI disatukan oleh pusaka warisan para Pendiri Bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, sang saka Merah Putih dan Bhinneka Tunggal Ika.

Saat ini Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menjadi bagian dari Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) bersama fraksi-fraksi Partai Politik. Hingga kini suara DPD RI seakan tenggelam oleh hiruk pikuk para selebriti Partai Politik. Jadi, sudah saatnya kini DPD RI bersuara lebih lantang dan berkiprah lebih aktif guna mempersempit kesenjangan yang makin lebar agar cita-cita mulia ke arah keadilan sosial dapat segera terwujud.

Kesenjangan Ekonomi

Meski menurut data, ekonomi Indonesia bertumbuh cukup tinggi dan jumlah orang kaya terus bertambah, namun ironisnya jumlah orang miskin juga terus bertambah. Jadi, ada ketimpangan distribusi pendapatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, golongan kaya menikmati 41% pendapatan nasional, dan pada tahun 2012 golongan kaya tercatat menguasai 49% pendapatan nasional. Sebaliknya golongan miskin pada tahun 2002 hanya menikmati 20% pendapatan nasional, bahkan pada tahun 2012 menurun lagi tinggal hanya 16% pendapatan nasional.

Hal serupa terjadi pada penguasaan aset nasional. Dari data Badan Pertanahan Nasional terungkap segolongan penduduk Indonesia menguasai 56% aset nasional dimana 87% berupa tanah. Sebaliknya banyak keluarga petani yang kekurangan tanah. Bahkan kepemilikan tanah oleh petani terus tergerus dari 0,5 HA (2002) menjadi 0,4 HA (2012).

Salah Urus

Pakar manajemen dunia Peter Drucker pernah mengungkapkan "there are no underdevelop countries, but only under managed ones", tidak ada negara yang terbelakang, yang ada adalah negara yang salah urus.

Pokok permasalahannya, manajemen ekonomi bangsa tidak dapat menganut pasar bebas, Pemerintah wajib menjalankan sistem perekonomian sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian dengan kewajiban menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional.

Selain melaksanakan manajemen ekonomi nasional sesuai amanat UUD 1945, NKRI harus kembali membangun sektor pertanian yang modern. Sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, sektor pertanian harus menjadi tumpuan utama perekonomian bangsa.

Revitalisasi sektor pertanian, termasuk peternakan, perkebunan dan perikanan, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan, sekaligus mewujudkan kedaulatan pangan. Hal ini sudah sesuai dengan program kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo, hendaknya DPD RI bersama Partai Politik dapat mengawal dengan baik agar benar-benar diwujudkan.

Sepertinya halnya kemaritiman yang sudah didengungkan sejak kampanye. Presiden Joko Widodo beserta jajaran kabinetnya harus memajukan sektor perikanan dan kelautan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai negara kepulauan, NKRI harus memiliki sistem transportasi laut yang handal. Untuk itu harus dilakukan modernisasi industri kapal dan pemanfaatan dermaga yang efektif.

Memajukan Daerah, Memajukan Negeri

Secara makro pertumbuhan ekonomi NKRI meningkat rata-rata di atas enam persen per tahun. Namun pertumbuhan tersebut belum terdistribusi merata ke semua daerah, 80% aktivitas ekonomi berada di pulau Jawa dan Sumatera.

Akibatnya Kawasan Indonesia Tengah dan Timur tertinggal dalam setiap aspek pembangunan. Prosentase penduduk miskin didominasi Kawasan Indonesia Timur (Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT), posisi Indeks Pembangunan Manusia provinsi terendah dipegang oleh Papua, NTB, NTT dan Papua Barat. Sebanyak 60% kabupaten daerah tertinggal berada di Kawasan Indonesia Timur.

Kesenjangan dalam infrastruktur ekonomi yang menimbulkan disparitas ekonomi. Disparitas harga barang kebutuhan pokok, harga di Kawasan Indonesia Timur lebih tinggi, padahal pendapatan lebih rendah. Sebut saja, harga semen di Papua 20 kali lipat harga di Jakarta, harga minyak goreng di Nabire 2,5 kali lebih mahal dibanding Surabaya, serta harga beras di Paniai tiga kali lipat harga beras di Balikpapan.

Untuk meningkatkan daya saing daerah, harus dilakukan dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup mulai dari lembaga pemerintahan, infrastruktur (jalan, rel kereta api, pelabuhan dan bandara), stabilitas makro ekonomi, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi pasar tenaga kerja, pasar keuangan, penguasaan teknologi, pengembangan dunia usaha, pengembangan inovasi dan daya kreasi masyarakat.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga sudah merencanakan pembangunan jalan, rel kereta api, dan pelabuhan di Kawasan Indonesia Timur, perlu pengawalan agar perencanaan ini segera dilaksanakan.

Upaya meningkatkan daya saing daerah sangat mutlak, karena desentralisasi dan otonomi daerah sangat diperlukan guna menghadapi globalisasi, dimana daerah-daerah di dalam NKRI harus bersaing dengan luar negeri. Jayapura tidak bersaing dengan Surabaya tetapi harus bersaing dengan Singapura, Bali harus mampu bersaing dengan Thailand dan Malaysia, Bitung harus bersaing dengan Davao, Filipina.

Bonus Demografi

Perioda tahun 2017-2019 menurut catatan Badan Koordinasi Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), jumlah penduduk usia produktif di NKRI mencapai 55,5% inilah yang disebut sebagai puncak bonus demografi. Jumlah penduduk produktif yang banyak bila tidak mampu dikelola dengan baik, akan menimbulkan bahaya meningkatnya jumlah pengangguran. Mulai sekarang Pemerintah harus bersiap diri memanfaat peluang ini dengan mengupayakan lapangan kerja yang cukup dan jangan dibiarkan berlalu tanpa memetik keuntungan apapun.

Kesimpulan

DPD RI sudah memahami permasalahan bangsa yang ada dan sudah mengetahui solusi terbaik yang harus diambil. Sebagian besar solusi sudah sama dengan program kerja kabinet, tinggal perlu kiprah pengawalan oleh DPD RI terhadap kinerja Pemerintah. Maju terus DPD RI, teruslah berkiprah demi pemerataan kemajuan seluruh negeri.

Referensi : Irman Gusman, Daerah Maju Indonesia Satu, 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun