Lantas, apakah kita tidak boleh berusaha yang terbaik untuk meraih hal-hal terbaik yang ditawarkan dunia? Tentu saja boleh. Tapi sampai dimana batasannya? Dan apakah kita akan pernah puas?
Filosofi Akhir
Kita semua akan mati.
Kesadaran akan mortalitas kita seharusnya bisa memberikan dampak positif daripada negatif. Karena yang menghitung hari sesungguhnya bukan hanya mereka yang divonis menderita penyakit kritis yang sudah tidak bisa diobati, tetapi kita semua. Apakah kita sadar akan hal ini? Seringkali kita lupa karena terlalu asik dengan hidup. Kita merasa seperti akan hidup selamanya.
Kesadaran bahwa hidup kita ini sementara dan tidak ada seorang pun yang tahu kapan hidup kita akan berakhir, harusnya bisa memberikan kerendahan hati. Bisa juga membuat kita berpikir sejenak tentang apa sebenarnya yang benar-benar penting dalam hidup kita.
Filosofi akhir bisa memberikan sebuah perspektif. Jika saya mati besok, apakah semua harta, jabatan dan kekuasaan yang saya miliki masih bernilai?
Jawabannya jelas tidak. Karena begitu hidup kita berakhir, semua hal tentang kita juga berakhir. Siapapun kita dan sehebat apapun pencapaian kita selama hidup. Semuanya tinggal sejarah. Cerita masa lalu.
Mungkin ada yang berargumen, semua peninggalan saya bisa bermanfaat untuk anak cucu. Bisa ya, bisa juga tidak. Mereka mungkin bisa hidup nyaman berkat semua peninggalan Anda, tapi apakah ada jaminan mereka pasti akan hidup tentram dan bahagia?
Sesungguhnya dalam hidup, kita semua hanya bisa berusaha. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa skenario hidup kita hanya akan dipenuhi dengan cerita-cerita yang baik dan menyenangkan.
Orang-orang paling kaya di dunia seperti Bill Gates dan Warren Buffett tidak berencana untuk mewariskan semua hartanya kepada anak mereka. Pastinya karena ada pertimbangan tertentu yang menurut mereka adalah yang terbaik.
Mereka memilih untuk menyumbangkan sebagian besar harta yang mereka miliki saat meninggal nanti ke yayasan, yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial.