Radio Sonora. Ya, itu satu-satunya radio yang tetap mengudara hari itu, di samping RRI Jogja. Saat itu Radio Sonora sedang menyiarkan wawancara dengan seorang tokoh, tentang isu tsunami yang sebenarnya bohong belaka. Sama sekali tidak ada tsunami besar yang menyusul terjadinya gempa tadi pagi. Bantul dan Jogja kering dan aman. Jika pun benar ada tsunami, air akan membentur perbukitan di bagian selatan Bantul, dan tidak akan mungkin mencapai daerah ini. Perbukitan itu bagaikan pagar alam yang kokoh, siap melindungi daerah ini dari serbuan air laut. Masyarakat diminta untuk tenang dan tidak terpengaruh isu-isu yang disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Kamu tidak menengok kantormu?" tanya Hasna pada Darma saat jeda iklan.
"Paling tidak ada yang ngantor, Kak...." jawab Darma ragu. Banyak temannya sesama petugas baca meter listrik yang tinggal di daerah Bantul. Bagaimana nasib mereka? Semoga mereka semua selamat dan rumah mereka baik-baik saja, harap Darma dalam hati.
Tapi Darma tidak yakin bahwa harapannya akan terkabul. Radio saat itu sedang menyiarkan berbagai laporan dari masyarakat di berbagai tempat yang terkena dampak gempa. Laporan yang membuat miris siapa pun yang mendengarnya. Rumah-rumah rata dengan tanah, orang-orang yang tewas tertimpa atap, tembok dan reruntuhan bangunan. Tidak sedikit yang luka parah, kebanyakan mengalami patah tulang. Di beberapa tempat, jalan tanah merekah dan jalan raya terbelah. Retakan tanah yang memanjang memancarkan air, pasir dan lumpur. Warga yang lain melaporkan sumurnya yang tiba-tiba mengering, air surut entah kemana.
Tiba-tiba Darma beranjak dari duduknya. "Aku mau lihat-lihat, Kak."
"Buat apa?" tanya Tono.
"Ya, lihat-lihat keadaan saja, ingin tahu."
Darma tidak berani bilang mau membantu. Ingin ia membantu para korban itu, tapi tidak tahu caranya.
"Ya sudah, hati-hati kamu." kata Tono. "Kalau sudah cukup cepat kembali ke sini."
"Beres, Kak."
Setelah berpamitan pada semuanya, Darma pun lambat-lambat menaiki sepeda listriknya dan melarikannya ke arah selatan, menyusuri Jalan Bantul. Mula-mula hanya sedikit kerusakan yang dilihatnya. Tetapi semakin jauh ke selatan, hatinya semakin miris. Makin banyak atap yang runtuh, tembok yang jebol, rumah yang ambruk rata dengan tanah.
Di suatu persimpangan, Darma berbelok ke timur. Hanya kerusakan dan kehancuran yang dilihatnya di sepanjang jalan. Darma terus melarikan sepedanya dengan pikiran campur aduk. Apa yang harus kulakukan? Darma ingin membantu, tapi mulai dari mana? Terlalu banyak kerusakan yang dilihatnya. Tentulah kerusakan dan kehancuran itu juga menelan korban nyawa yang tidak sedikit.
Tidak terasa, Darma tiba di Pleret. Di daerah ini, jejak-jejak hantaman gempa semakin jelas di depan mata. Kalau tadi Darma melihat hanya satu dua rumah yang ambruk, kini di matanya hanya terlihat satu dua rumah yang masih tegak berdiri. Perkampungan yang tadinya dipadati rumah-rumah penduduk, kini terlihat seperti lapangan luas yang dihiasi hamparan reruntuhan bangunan.
(bersambung)
Cerita ini fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, hanyalah kebetulan belaka dan bukan merupakan kesengajaan.
© Sutan Hartanto
Hak cipta dilindungi undang-undang. All Rights Reserved
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI