“Iya,Pak. Tapi, sejauh ini tidak bisa dengan harga sepuluh ribu,Pak. Ini harus limabelas ribu.”
Begitu memasuki wilayah Seminyak Square, dari jauh sudah terlihat umbul-umbul Kompasiana. Segera kuucapkan terimakasih sambil memuji kehebatannya mendapatkan alamat yang kucari. Kusangka dengan melontarkan pujian hatinya lunak! Ia tetap bersikeras, meminta bayaran limabelas ribu.
“Nih, kutambah duaribu!” Kataku menyerahkan uang kepadanya.
“Kurang,Pak! Limabelas ribu!”
Loh, aku jadi tidak bisa menahan emosiku, namun mengingat gengsi dari jumlah yang diminta, maka kutambah duaribu lagi, sehingga total sudah kuserahkan empatbelas ribu.
Dengan berang, ia merenggut uang empatbelas ribu yang masih tergantung di antara tanganku dan tangannya.
“Selamat berlibur di Bali, Pak. Semoga bapak kena batuk nantinya!” dengan cepat ia stater motornya dan kabur.
Aku terpana, beginikah Kota Wisata memperlakukan tamu? Hanya karena kurang seribu saja dari nilai yang diminta, masak sumpah serapahnya keluar. Mungkin dia kira aku takut bersitegang dengannya. Ia tidak sadar, bahwa kesepakatan awal adalah hukum tertinggi dalam “jual-beli” barang dan jasa. Kusadari, aku tidak salah karena menjaga komitmen.Dan bukan karena pelit, karena aku mau menambah tambahan ongkos. Tapi aku tidak mau diintimidasi, apalagi oleh seorang tukang ojek. Ia lupa, Bali adalah tujuan Wisata utama di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H