Tak dapat disangkal, saat Pilpres 2019 lalu dukungan masyarakat terbelah dua. Pertama kelompok yang mendukung pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan kedua kelompok yang mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Terbelah duanya dukungan masyarakat tersebut membuat tensi politik tanah air sempat memanas.
Kesininya, dukungan tersebut semakin memudar. Baik itu dukungan kepada Prabowo dan partai politiknya Gerindra, maupun dukungan kepada Joko Widodo dan PDIP sebagai partai pengusung utamanya. Hal utama yang membuat dukungan publik tersebut memudar adalah terkait konsistensi dari kedua kandidat dan parpol pengusungnya yang selama Pilpres 2019 berbenturan sangat kuat.
Seperti mahfum diketahui bersama, setelah tahapan panjang Pilpres 2019, Prabowo memutuskan untuk menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan. Hal itu menjadi sesal bagi pendukung dan relawan Prabowo di akar rumput. Ada pernyataan di kalangan masyarakat bawah, "kalau ujung-ujungnya mendukung Jokowi, kenapa di awal menunjukkan sikap bertentangan terhadap penguasa, ini sama saja dengan pembohongan kehendak rakyat."
Bahkan Prabowo yang dielu-elukan sebagai macan podium saat kampanye lalu, kini disebut oleh pendukungnya tak ubahnya sebagai kucing berbulu macan. Bentuknya sangar, nyatanya hanya bisa me-ngeong meminta belas kasih kepada penguasa. Inilah sesal yang membuat pemilih Prabowo dan Gerindra sebagai parpol menarik mundur dukungannya.
Sesal juga terjadi di kubu Jokowi. Selain sesal dengan Jokowi yang mengajak Prabowo ke dalam pemerintahannya; karena saat kampanye selalu dibenturkan antara Jokowi sebagai pemimpin yang memperjuangkan HAM dan Prabowo pemimpin yang pernah terlibat dengan sederatan kasus HAM, sesal lain juga muncul karena sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak menangkap harapan serta berempati terhadap kondisi rakyat. Hal itu bisa dilihat dari penolakan atas RUU KUHP dan revisi UU KPK yang notabene digerakkan oleh pendukung Jokowi.
Kekecewaan publik kepada pemerintahan Jokowi dan Prabowo yang bergabung di dalamnya dapat dilihat dari survei Indobarometer pada Mei 2020 lalu. Dalam survei itu, sebanyak 74,1 persen publik merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah. Artinya, ini tidak hanya kerugian bagi kedua tokoh tersebut dalam menjalankan pemerintahan ke depan, tapi juga menjadi kerugian bagi parpol pengusung utama yakni PDIP dan Gerindra dalam menghadapi Pilkada 2020 ini.
Di tengah dukungan publik yang terus menurun kepada Jokowi-Prabowo dan PDIP-Gerindra, Partai Demokrat dengan pemimpin barunya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mencuri hati rakyat Indonesia. Selain sosok muda AHY, sejumlah kebijakan strategis Partai Demokrat terutama di masa Covid-19 terus mendapat dukungan rakyat Indonesia.
Partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY menjadi partai yang terdepan membantu masyarakat terdampak akibat Covid-19. Berbeda halnya dengan bantuan yang dilakukan parpol lain, Partai Demokrat memiliki skema bantuan yang terukur dan terstruktur dari pusat hingga daerah. Bahkan dari berbagai sumber, data terakhir jumlah nominal yang disalurkan oleh partai berlambang mercy mencapai Rp 191 Miliar.
Selain aktif membantu rakyat yang terdampak Covid-19, Partai Demokrat juga aktif menyerap dan memperjuangkan harapan rakyat. Para legislator Demokrat aktif mendorong pemerintah untuk fokus menangani Covid-19 dan menolak hal-hal yang tidak berkaitan dengan Covid-19.
Contohnya, Demokrat mengkritisi imunitas penyelenggara/pejabat negara yang tertuang dalam Perppu 1/2020, menolak pembahasan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) di tengah Covid-19 tanpa melibatkan dan memperhatikan aspirasi kelompok buruh, dan menjadi satu-satunya parpol di Senayan yang menolak pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang.
Pencapaian Partai Demokrat di bawah kepemimpinan AHY yang tak kalah membanggakan di tengah masa pandemi Covid-19 yaitu keberhasilan sejumlah kader Demokrat yang menjadi kepala daerah dalam mengendalikan penyebaran wabah. Ada Wali Kota Tegal Dody Yon Supriyanto dan Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang sukses dan diakui Gugus Tugas Covid-19 Nasional.Â
Sejumlah kebijakan strategis dalam memperjuangkan harapan rakyat dan keberhasilan kepala derah dari Demokrat tak bisa dilepaskan dari instruksi AHY selaku ketua umum dengan nomor 01, 02, dan 03 tentan Gerakan Nasional Partai Demokrat Lawan Corona.
Pencapaian Partai Demokrat merebut hati rakyat dengan kerja nyata inilah yang membuat serangan bertubi-tubi kepada AHY dan partai berlambang mercy ini, khususnya media sosial. Mulai dari buzzer "telur", para influencer pemerintah, maupun kader-kader parpol PDIP dan Gerindra kompak beramai-ramai menyerang Demokrat.
Targetnya apa? Banyak spekulasi yang berkembang, targetnya adalah supaya Partai Demokrat tidak mendapatkan hasil yang maksimal di Pilkada 2020. Bila itu berhasil, maka perjanjian batu tulis bisa dijalankan pada 2024 mendatang dengan capres-cawapres Prabowo Subianto-Puan Maharani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H