PERANG BENTENG (I) PERTAMA, PERANG MARITIM TERBESAR ABAD 17 MELAWAN VOC DI PALEMBANG
Oleh : HG Sutan Adil
Cerita tentang sejarah besar “Perang Benteng” di Palembang terhadap VOC ini jarang sekali terpublikasi dan atau penelitiannya. Dalam peristiwa perang maritim yang besar ini, tentu saja banyak meninggalkan cagar budaya yang masih tenggelam dan terabaikan sampai sekarang. Apalagi sangat disayangkan juga sejarah besar beberapa kali Perang Maritim di Nusantara terhadap VOC/kolonialis di Palembang ini tidak masuk dalam standar pelajaran sejarah nasional. Padahal sejarah besar Palembang ini adalah kejadian nyata dan merupakah sejarah besar dan heroik perjuangan rakyat Palembang yang dipelopori oleh Penguasa Palembang di periode2 itu, yaitu Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Tercatat minimal ada lima (5) kali Perang Maritim besar atau Perang Benteng di Palembang yang melibatkan Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam dalam menghadapi para pendatang dan pengusaha global saat itu yang ingin mengusai perdaganggan dan menjajah Palembang. Dimulai dari permintaan untuk mendapatkan hak monopoli perdagangan sampai mulainya penjajahan secara wilayah atau Koloni. Pendatang dan Pedagang ini dimulai dari pedagang besar dan global saat itu yang sering disebut sebagai VOC (Vereening de Ost-Indische Companie) dan EIC (East India Company) sampai era pemaksaan penguasaan wilayah seperti Kerajaan Holanda (Belanda, Kerajaan Perancis dan Kerajaan Inggris.
Cerita dalam tulisan ini adalah bersumber dari buku kedua penulis sendiri dengan judul "PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar abad 17 dan 19 di Palembang" yang merupakan karya tulis penulis sendiri yang sudah terbit akhir tahun 2022 lalu. Sumber primer dari tulisan dibuku ini diambil dari penelitian langsung oleh penulis ke lapangan dan juga terhadap beberapa catatan dari Komandan Perang VOC saat menyerang Ibukota dan Keraton Kuto Gawang di Palembang, bernama Laksamana John van der Laen, sebagai data primernya dan juga dari tulisan Johan Nieuhof dalam bukunya “Voyages & Travels to the East Indies 1653-1670, yang juga ikut serta dalam penyerangan VOC ke Palembang saat itu. Data sekunder diambil dari beberapa buku dari Bp. Djohan Hanafiah, Ibu Farida W. Wargadalem dan karya ilmiah lainnya, dan juga dari internet sebagai data pembanding.
Pada Buku Perang Benteng ini sebenarnya dan berdasarkan Penelitian dari kami, Sutanadil Institute, dimasa Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam banyak sekali meninggalkan Benteng-benteng Pertahanan khas Melayu mereka yang terbuat dari kayu dan bambu dimasa tersebut untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, yang tersebar mulai dari Muara Sungai Musi di Selat Bangka dan Sungsang, sampai ke ibu kota Palembang dan dibeberapa daerah uluan Sungai Musi lainnya di daerah pedalaman yang sering disebut sebagai Batang Hari Sembilan. Namun sayanganya, keberadaan Benteng-benteng pertahanan ini masih banyak yang belum bisa terungkap karena minimnya dukungan dan Dana Penelitan /Eksplorasi dari stake holder sejarah yang terkait, baik dari pusat maupun daerah di Sumatera Selatan (Palembang) sendiri sampai saat ini.
Pada 1642, Pangeran Sido Ing Kenayan sebagai Pangeran Palembang saat itu terpaksa melakukan kesepakatan kepada VOC (Kompeni) dalam rangka memonopoli perdagangan lada dan komoditas lainnya dari Palembang, karena saat itu Negeri Malaka juga sudah dikuasai oleh VOC. Akan tetapi seperti biasanya VOC tidaklah berbuat banyak untuk menegakkan perjanjian tersebut, sampai tahun 1655, karena kondisi persaingan dari berbagai bangsa Eropa yang juga ingin mengambil keuntungan dalam perdagangan di Palembang.
Hubungan kedua pihak memburuk karena perwakilan VOC di Palembang yang bernama Cornelius Ockersz, berlaku arogan dan sering menawan kapal-kapal dagang pesaing mereka di Palembang serta memperlakukan Pangeran-pangeran Palembang saat itu dengan tidak selayaknya sebagai mitra dalam perdagangan dan sering tidak menghormatinya.
Pada Agustus 1653, terjadi kekacauan dg perwakilan VOC ini, dimana Ockersz dan 40 orang anak buahnya terbunuh ketika mau meninggalkan Palembang setelah membuat kekacauan, sedangkan orang-orang Belanda yang tersisa dipenjarakan di Keraton Kuto Gawang. Dibeberapa tahun selanjutnya juga terjadi pembunuhan terhadap awak kapal VOC, Jaccartra dan Watchman; dan setahun kemudian terjadi lagi pembunuhan dua orang Belanda yang saat itu diutus ke darat oleh kapal perang Niccoport dan Leerdam (yang baru datang dari Texel)
Dalam masa pemerintahan Pangeran Sido ing Rejek bergelar Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat VI di Palembang, VOC di Batavia mengirimkan sebelas armada kapal pada tanggal 9 Oktober 1659 di bawah pimpinan dan komandan nya, Laksamana Johan van Der Laen beserta wakilnya John Truytsman untuk membalas beberapa kejadian terhadap orang dan perwakilan VOC diatas serta untuk memperkuat usaha monopoli mereka di Palembang.