HARI KARTINI dan KONTROVERSINYA
Oleh: HG SUTAN ADIL
Pada hari ini, dalam kurun waktu 144 tahun yang lalu, tepatnya 21 April 1879, tercatat dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia, lahirlah seorang anak bangsawan jawa di Jepara bernama RA Kartini, anak Bupati Jepara saat itu yang bernama R.M Sosroningrat dan dengan ibu dari kalangan biasa M.A Ngasirah yang juga seorang anak kyai.
RA Kartini tumbuh menjadi gadis yang berkultur jawa dan berdarah bangsawan sehingga dapat bersekolah bersekolah di ELS (Eurupese Lagere School) sehingga banyak mempunyai teman dari kalangan Eropa, khususnya Belanda. Dari pertemanan inilah RA Kartini melakukan korespondensi dan berdiskusi dengan sahabat sahabat nya di negeri Belanda selama kurang lebih 5 tahun sebelum meninggal pada tanggal 17 September 1904.
Sebanyak 149 surat korespondensi tersebut berhasil dikumpulkan dan dibukukan oleh J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” yang makna literalnya adalah “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Selanjutnya buku tersebut diterjemahkan kembali oleh Armijn Pane, seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Buku ini mendapatkan respon publik yang luar biasa. Mula-mula di Belanda lalu merembet ke Hindia-Belanda. Banyak surat kabar saat itu turut andil menyebarkan berita dan iklan-iklan tentang buku itu. Berkembangnya wacana RA Kartini dari buku tersebut adalah tak lepas dari kepentingann politik etis pemerintah Belanda yang dicanangkan sejak 17 September 1901 untuk menutupi keserakahan, perampokan dan kekerasan yang telah dilakukannya selama kebijakan sistem tanam paksa yang telah merenggut nyawa 100.000 lebih penduduk di Koloninya,sehingga menjadi pembicaraan serius di parlemen Belanda
Pada masa itu Belanda sangat berkepentingan memunculkan pigur pribadi maju dari negeri jajahannya demi kepentingan kampanye politik etis mereka, untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat jajahannya untuk memberikan citra bahwa penjajah Belanda juga “beradab”.
Maka, ketika orang-orang Belanda yang sedang giat giatnya mempromosikan gerakan memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan formal nya membuat Yayasan Kartini, yang salah satu proyeknya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Peristiwa ini dibuat mendapatkan liputan besar-besaran oleh berbagai surat kabar bergengsi di Belanda dan Hindia Belanda.
Dalam pemberitaannya juga banyak yang menyebutkan bahwa Yayasan Kartini akan menjadi organisasi yang tersebar di seluruh negeri untuk memajukan pendidikan di negeri jajahan Hindia Belanda yang tak lain adalah di Jawa dan sekitarnya.
Sejak saat itulah “wabah narasi Kartini” dibuat dengan cepat dan menyebar hingga ke Hindia Belanda, tanah kelahiran Kartini sendiri. Juga dalam sebuah iklan di surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1914 yang berisi promosi berbagai jenis kalender, salah satu kalender yang dijual adalah “Raden Kartini Kalender”
Narasi RA Kartini secara visual terus berlanjut hingga parade perayaan 50 tahun Ratu Wilhelmina, organisasi pemuda Jong Java menampilkan episode Kartini di sebuah truk/gerobak besar dengan Sujatin Kartowijono, seorang aktivis perempuan yang kemudian turut menginisiasi Kongres Perempuan pertama, memerankan sosok Kartini yang mengenakan kebaya dan sanggul, seperti potret Kartini yang kita kenal hingga sekarang dan dipergunakan sebagai pakaian khusus di konggres tsb.
Oleh Pemerintahan Hindia Belanda, citra RA Kartini yang sebagai pejuang pendidikan perempuan khususnya di pulau jawa, dibuat semakin kokoh dalam tatanan sosial ketika pada tahun 1929, bertepatan 50 tahun kelahiran RA Kartini dengan berbagai perayaan yang cukup semarak.
Misalnya di Sekolah Perempuan Van Deventer di Solo, dimana acara itu dihadiri oleh banyak pejabat penting Kolonial Belanda. Di Purworejo, seperti dilaporkan surat kabar Bataviasch Nieuwhblad edisi 16 April 1929, organisasi Wanito Oetomo menggelar acara mengenang 50 tahun Kartini. Salah satu acaranya adalah dengan mengheningkan cipta selama semenit untuk RA Kartini.
Bahkan dalam perayaan perayaan 60 tahun Kartini pada 1939 juga dirayakan dengan gegap gempita bahkan mendapatkan dukungan khusus dari pemerintah Kolonial Belanda.
Surat kabar De Indische Courant edisi 25 April 1939, dilaporkan secara khusus dengan judul “Kartini Herdenking” (Perayaan Kartini) lagi-lagi dalam perayaan tersebut juga tak lepas dari visual Kartini dengan mengenakan kebaya dan sanggul layaknya perempuan Jawa.
Beberapa data tersebut menunjukkan bahwa ketokohan Kartini sebagai pejuang emansipasi memang pada tingkat tertentu tampaknya tak lepas dari politik pencitraan Kolonial Belanda terkait dengan sistem politik etisnya. Setidaknya dapat dikatakan di sini bahwa hegemoni kolonial Belanda dalam “mengekploitasi” narasi RA Kartini begitu dominan sehingga terjadi reduksi.
Jelaslah jika berdasarkan penjelasan diatas, telah terjadi political interest tingkat tinggi dalam menetapkan RA Kartini sebagai pahlawan nasional dan adanya perayaan hari kartini di lembaga2 pendidikan dan lainnya adalah merupakan “Warisan Kolonial Belanda” dalam menjalankan politik etnis nya.
Sayangnya sejarah yang konroverial tersebut diamini oleh Sukarno dalam banyak pidatonya dan secara resmi RA Kartini dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional dengan adanya Keppres No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964 yang mana juga hari kelahiran RA Kartini yang setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini sebagaimana yang telah diwariskan oleh Kolonial Belanda itu.
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 21 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H