Di suatu sore sepulang dari shalat maghrib di masjid, "Yah, abah kritis!", istriku langsung nerocos tanpa kutanya.
"Eh, abah siapa?", tanyaku dengan menatap tajam ke arahnya.
"Abah L!", dengan setengah berteriak balik menatapku buat meyakinkannya.
"Ah, becanda kali kamu ya? Masak sih abah L?", aku balik bertanya yakin benar kalau istri pasti sedang bergurau.
"Ini lho aku barusan dikasih tahu dari bapak!", dia langsung menyodorkan hape ke arahku. Kubaca halaman WA yang berisi percakapan istri dengan orang tuanya.
"Kok bisa ya?", aku bertanya kepada diriku sendiri dengan penuh keheranan.
Begitulah obrolan singkat sore itu. Sebenarnya sebulan sebelumnya saya sudah mendengar dari saudara ipar (adik-adik istri) jika abah sempat kritis di RS. Kronologisnya kira-kira sebulan sebelumnya abah pergi ke sebuah kota untuk menjemput putrinya yang tengah kuliah di sana. Beliau bersama istrinya berangkat naik mobil yang disopiri oleh tunangan salah satu saudara ipar saya.Â
Nah sepulang dari kota itu abah dan istrinya jatuh sakit. Istrinya sempat dirawat di rumah dan sembuh tetapi abah justru semakin parah sehingga dibawa dan rawat inap di RS. Disitulah saya mendengar abah memang sempat kritis tetapi beberapa hari kemudian saya mendengar lagi jika abah sudah pulang ke rumah dan sehat seperti sedia kala.
O ya saya akan bercerita siapa sebenarnya abah L ini. Beliau adalah salah satu sesepuh di desa kami atau boleh dibilang kyai-lah. Walaupun kyai beliau tidak kolot bahkan beliau sudah lama menjabat menjadi dosen di sebuah PTS. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD dulu. Saya tak tahu usia abah sebenarnya tetapi mungkin sekitar 60-an atau kira-kira setara usia ibu saya.Â
Satu hal yang sangat saya kagumi dari si abah selama ini adalah saya belum pernah mendengarnya sakit. Kebetulan rumah mertua hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah beliau. Mertua juga merupakan salah satu tangan kanan abah. Jadi kalau terjadi sesuatu pada kesehatan abah pasti saya juga akan diberitahu.
Padahal biasanya orang-orang seusia abah sudah mengidap berbagai macam penyakit seperti diabetes, hipertensi, jantung, dll. Setahuku abah tidak menderita salah satu penyakit tersebut. Abah selalu kelihatan sehat dan bugar.Â
Saya juga tak pernah melihat abah berolahraga seperti jalan kaki atau senam di halaman rumahnya. Mungkin abah punya sepeda statik atau peralatan olahraga lain di dalam rumahnya, begitulah pikiran saya.Â
Soal makan, abah juga seperti tak punya pantangan. Saat jamuan makan misalnya pada upacara pernikahan atau lamaran abah melahap apa saja yang dihidangkan di depannya. Abah juga tak gemuk-gemuk amat. Memang sih abah tak merokok.
Abah benar-benar luar biasa karena dengan gaya hidup seperti itu (yang menurut saya kurang sehat), beliau tak pernah sakit. Saya yakin abah pasti punya resep rahasia dalam menjaga kesehatan entah itu suplemen herba atau jamu. Karena itulah saya bertekad suatu hari akan menemui abah secara empat mata dan berharap beliau mau berbagai resep rahasianya itu.Â
Akan tetapi dari kritisnya abah di sore hari itu saya sadar bahwa tidak pernah sakit bukan berarti sehat. Ambil contoh lain adalah bapak saya sendiri. Saat diukur tensinya sistole bapak tidak pernah berada di bawah 160.Â
Sudah jelas bapak menderita hipertensi dan ini tentu saja tak boleh disepelekan tetapi bapak selalu mengabaikannya karena memang bapak tak pernah merasakan pusing, lemas, atau gangguan kesehatan lainnya. Pernah sekali beliau minum obat penurun tekanan darah tetapi ya cuma sekali itu saja. Habis itu dia ogah karena dianggap cuma merepotkan.
Hingga detik ini bapak tetap ngebut merokok dan semakin lama semakin parah. Dalam satu jam beliau bahkan bisa menghisap hingga 3 batang. Waktunya lebih banyak habis untuk merokok dibandingkan bekerja. Apakah bapak saya sehat? Tentu saja tidak! Hanya sekedar tidak sakit belaka.
Baiklah kita balik lagi ke kisah abah. Saya menunggu hingga larut malam untuk mengetahui kabar abah selanjutnya. Sekitar pukul 8 malam katanya abah sudah bisa duduk-duduk dan makan. Sepekan kemudian kondisi kesehatan abah memburuk lagi dan ternyata abah diharuskan menjalani hemodialisa. Lho? Gagal ginjal jelas itu!
Padahal gagal ginjal bukanlah penyakit yang datang begitu saja dalam 1-2 hari? Biasanya gagal ginjal adalah komplikasi diabetes pada orang yang sudah berumur dan diabetes bukanlah penyakit yang muncul begitu saja 1-2 hari atau 1-2 pekan. Kini satu per satu mengenai kondisi kesehatan abah selama ini mulai terkuak.Â
Satu hal yang masih belum terkuak hingga kini adalah apakah abah merasakan gejala-gejala gangguan kesehatan tetapi mengabaikannya atau memang tidak pernah merasakannya sama sekali selama ini?Â
Contoh seperti kasus bapak saya, beliau tidak pernah merasakan gangguan kesehatan apapun meskipun sistole selalu di atas 160. Salah satu tetangga juga sistolenya selalu berada di angka 200 tetapi tidak merasakan gangguan apapun juga. Saya heran padahal saya pernah mendapatkan sistole 130 (saat donor darah) aja sudah kalang kabut berusaha mati-matian untuk menurunkannya menjadi 120. Yang saya rasakan memang ada rasa pusing meskipun cuma sedikit waktu itu.
Saya hanya mengandaikan tubuh kita ini seperti kendaraan yang ada sensornya. Pada orang-orang yang sebenarnya mengalami gangguan kesehatan tetapi tidak merasakan apapun, bisa jadi sensornya memang sudah menurun kepekaannya atau tidak berfungsi sama sekali. Akibatnya mereka dengan entengnya menganggap dirinya baik-baik saja walaupun secara media sudah sangat jelas mereka tak sehat.Â
Jujur saya sendiri merasakan jika menjaga kesehatan bukan perkara mudah. Meski sudah menjalani gaya hidup sehat penuh tetapi eh kadang penyakit masih datang juga menyergap. Itulah yang saya rasakan selama ini. Akhir cerita akhirnya abah meninggal usai beberapa kali menjalani hemodialisa di RS. Rasa-rasanya seperti tak percaya saja tetapi paling tidak kisah abah ini menjadi sebuah inspirasi bahwa sehat bukan cuma perkara tak sakit saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H