Mohon tunggu...
susilo ahmadi
susilo ahmadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - sekedar menyalur hobi menulis

cuma orang biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Gas Melon", Subsidi Salah Sasaran

20 Januari 2020   17:50 Diperbarui: 22 Januari 2020   21:11 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini di kampungku semua ibu rumah tangga ribut dengan isu kenaikan harga elpiji melon yang mencapai 2 kali lipat. Intinya tak ada seorang pun yang setuju dengan kenaikan harga ini. Yah, siapa sih orang yang suka dengan kenaikan harga? Kalau kenaikan gaji atau upah bolehlah, hehe...

Jujur saja selama ini memang distribusi gas melon di kampungku boleh dikatakan 100 persen tak tepat sasaran. Wuih, kok berani bilang 100 persen?

Sekarang saya akan mencoba menganalisis lebih jauh.

Gas melon ini dulu muncul sebagai pengganti minyak tanah. Gas elpiji yang beredar sebelumnya hanya tersedia 12 kg (biru) yang sudah jelas non-subsidi, dan itu pun cuma ada di kota-kota. Kalau di desa pilihannya cuma minyak tanah atau kayu bakar.

Waktu itu (mungkin 2006) di kota terdekat telah dilakukan konversi ini, dari minyak tanah menjadi gas elpiji. Semua GAKIN di situ mendapatkan satu buah kompor dan tabung melon gratis.

Akan tetapi, entah bagaimana banyak GAKIN justru menjual kompor dan tabung gasnya ini. Saya tidak tahu alasannya tetapi ada yang bilang mereka butuh uang.

Oleh salah seorang kenalan, saya ditawari tabung-tabung gas melon dan kompor-kompor ini. Wah kebetulan sekali karena di desa belum ada konversi, wak itu. Maka, saya pun membeli 4 tabung beserta 4 kompor. Harganya murah sekali cuma Rp 100 ribu per tabung plus kompor.

Tapi, berhubung kompornya kurang menarik maka saya berikan kepada kerabat dan tetangga.

Waktu itu pasokan gas melon belum sampai ke kampung. Bila ingin, saya harus naik motor membawa tabung-tabung itu ke kota. Hingga akhirnya, beberapa tahun kemudian, konversi datang ke kampung. Semua warga tanpa kecuali termasuk orangtua saya mendapatkan jatah tabung dan kompor.

Tapi sebenarnya ini makin tidak jelas, apakah gas melon ini untuk GAKIN atau semua warga tanpa kecuali?

Gas melon pun mulai mudah ditemui di mana-mana termasuk warung-warung di sebelah rumah, sehingga saya tak perlu repot membeli jauh-jauh sampai sekarang.

Mungkin ada yang bertanya kok saya tidak pakai tabung elpiji biru 12 kg non-subsidi?

Masalahnya adalah ada pada distribusi. Siapa yang mau jalan berpuluh-puluh kilometer menembus kemacetan hanya untuk membelinya?

Kalau memang aturannya gas melon ini hanya diperuntukan bagi GAKIN, mengapa tidak ada pengawasan pada distribusinya supaya tepat sasaran agar tidak semua golongan bisa membeli gas melon sesukanya?

Beberapa tahun lampau, saat menonton sebuah acara memasak di sebuah stasiun TV, saya melihat dengan sangat jelas kru tersebut memasak memakai tabung gas melon. Lalu sebuah kedai mie ayam terkenal di kota terdekat yang omzetnya per hari mencapai puluhan juta juga menggunakan tabung ini.

Beberapa bulan kemarin di sebuah rumah seorang pengusaha besar jamur tiram juga saya melihat dengan sangat jelas puluhan tabung gas melon menumpuk di gudangnya.

Yang terakhir, suatu pagi beberapa hari lalu ketika saya disuruh mengantar gabah ke rumah saudagar kaya. Istrinya saat itu sedang memasak di belakang dan pintu dapurnya sedang terbuka, mata saya langsung menangkap puluhan tabung gas melon menjulang.

Saya tidak yakin orang-orang ini layak mendapatkan subsidi contoh si saudagar kaya itu seandainya disuruh membeli isi ulang gas melon Rp 100 ribu per tabung pun pasti cuma dianggap upil saja.

Kesimpulannya sudah sangat jelas subsidi tabung gas melon sudah salah sasaran.

Tapi jangan dulu menyalahkah orang-orang kaya yang menggunakan gas melon. Mereka pakai gas melon kadang juga karena hanya itu yang tersedia di sekeliling mereka seperti si saudagar tetangga itu.

Sebenarnya pemerintah sudah berupaya dengan memberikan tulisan "hanya untuk warga miskin" di badan tabung. Tapi menurut saya itu sia-sia saja. Itu tak ubahnya seperti tulisan "merokok membunuhmu" yang menurut saya tidak akan banyak memberikan dampak apapun kepada para perokok.

Selain itu sosialisasi tabung gas non-subsidi (Brightgas pink atau tabung yang biru) kepada masyarakat nyaris nol. Saya melihat pemerintah seperti malas melakukannya ditambah gerojokan pasokan gas melon membuat gas non subsidi hampir-hampir lenyap.

Selama hampir 10 tahun ini saya baru melihat satu kali seorang kerabat di Banyuwangi yang memakai tabung gas biru 12 kg pas berkunjung ke rumahnya. Dulu di minimarket sempat tersedia melimpah Brightgas dan tabung yang biru tapi lama-lama menghilang. Dugaan saya mungkin kurang laku. Gimana masyarakat mau sayang kalau tak kenal?

Yang unik, malahan banyak GAKIN di kampung yang lebih suka menggunakan kayu bakar untuk memasak. Mereka biasanya mencari kayu di ladang atau pekarangan orang dan yang pasti itu gratis.

Jadi, kasarnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa warga yang mampulah yang telah menikmati subsidi gas melon sampai sekarang. Warga mampu kok malah disubsidi? Apakah itu layak?

Kalau saya pribadi (meskipun bukan orang kaya) tentu sangat memahami duduk permasalahan yang ada sehingga bisa memaklumi kenaikan ini, tetapi bagi sebagian besar rakyat kita?

Pertanyaannya, siapkah pemerintah melakukan sosialisasi penuh atau asal hantam kromo saja langsung menaikkannya seperti yang sudah-sudah?

Saya tentu sangat setuju dengan pemerintah yang akan menerapkan sistem distribusi tertutup tetapi sekali lagi pengawasan harus benar-benar dilakukan. Bukan cuma omong kosong!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun