Mohon tunggu...
Susi Kurniawan
Susi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Seorang ibu untuk semua anak

Menulis, membaca, menyaksikan...sebuah imajinasi tak berbatas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Skoliosis

5 Juli 2019   11:38 Diperbarui: 5 Juli 2019   11:57 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Delapan tahun sudah operasi menyakitkan itu berlalu, akan tetapi rasa itu tetap merasuk tulang belulang hingga sekarang. Sang waktu tidak mampu menyirnakannya. Kisah yang selalu memutar ingatan disaat aku duduk sendirian, seperti saat ini.

Usiaku 12 tahun saat itu, ketika mama dan papa akhirnya menandatangani surat persetujuan operasi Skoliosis yang disodorkan oleh Dr Hee Hwan, dokter ahli bedah tulang di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, dokter langganan sejak pertama kali aku didiagnosis sakit sialan itu. Yaah...penyakit itu menampakkan dirinya dengan membuat tulang bahu kananku lebih tinggi dibanding sebelahnya serta salah satu pinggulku lebih menonjol. 

Nyerinya...jangan tanya..sesak nafas dan nyeri punggung hebat yang tak berkesudahan selalu datang tanpa permisi. Nyeri itu akan berkurang rasanya jika aku rebahan dengan punggung lurus atau berbaring pada sisi tubuh. 

Mama selalu berusaha membantu meringankan rasa itu dengan mengusap-usap punggungku dikala sakit mendera. "sabar ya sayang...Runni akan segera sembuh...sabar ya" dan aku biasanya hanya menganguk-anggukkan kepala dengan susah payah sambil mengusap air mata.

Dengan berbekal beragam info dan saran dari dokter tanah air, kami akhirnya berjumpa dengan Dr Hee di Singapura. Beliau lah yang dengan sabar mendampingi aku mengenal lebih jauh musuh jahatku itu. 

Dr senior itu memberitahu papa dan mama bahwa aku menderita Skoliosis Kongental yang merupakan bawaan sejak didalam kandungan dimana tulang belakangku tidak dapat tumbuh dengan normal. Papa dan mama sangat terpukul mendengar itu semua, terlebih mama...nampak sangat bersalah, seolah-olah karena beliaulah yang tidak becus menjaga kehamilan yang meyebabkan putri semata wayangnya menjadi seperti ini. Seandainya saat  itu...aahh waktu tidak dapat diputar ulang mama..

Akhirnya, operasi yang harus dilakukan itu terlaksana. Disaat aku merasakan tidur ternyenyak sepanjang hidupku karena suntikan anestesi, terbang menari bermain bersama kupu-kupu, lupa akan sakit itu...saat itu pula Dr Hee dan beberapa dokter lainnya sibuk membongkar punggungku. Aku bisa bayangkan betapa repot dan lelahnya mereka saat itu. 

Selama delapan jam menyayat punggung kecilku, memasang sebatang titanium sepanjang 20 centimeter memanjang dari punggung sampai leherku, memasang banyak sekrup baja dengan mengebor tulang kecilku, memastikan semua terpasang sempurna dan kemudian menjahitnya kembali. Dan...yuup rangka besi itu terpasang permanen sepanjang usiaku. Sepanjang waktuku.

Mau tahu rasanya?

Setelah tersadar dari bius itu aku menangis seharian, rasa nyeri setelah operasi terasa perih sepanjang punggungku. Obat yang diberikan Dr Hee hanya manjur sesaat, mengusir sebentar. Mama selalu mengusap usap tanganku, untuk meringankan tangisku, dan tampak dari ekor mataku, papa mengusap sudut matanya. Aku?...aku mulai belajar dengan nyeri itu...bersama sang waktu.

Aku tumbuh berteman dengan rangka besi itu. Mengajakku memintasi masa remajaku, masa dewasaku hingga mungkin masa tuaku nanti. Sang waktu setia menungguku saat aku bergelut dengan egoku, menuntaskan rasa marahku kepada Si Pemberi Hidup. Ketidak adilan yang kurasa membiaskan rasa sakit yang tak terkira. Bukan lagi tentang nyeri punggung permanen, yang sudah kebas kurasa, akan tetapi lebih ke rasa penat dan bosan. 

Aku tidak bisa membengkokkan punggung, tidur harus dalam posisi lurus, berdiri harus tegak. Obat antiinflamasi sudah seperti permen bagiku, suntikan steroid bagai vitamin bagiku, berguna walau sesaat.

Dan sekarang...setelah duapuluh tahun...Skoliosis tetap ada tanpa detak suara. Diatas tempat tidur kami VIP rumah sakit Mount Elizabeth ini, aku menyerah. Rangka titanium yang terpasang ternyata mengalami pergerseran tangkai baja dan menimbulkan infeksi. Aku djadwalkan operasi pengangkatan titanium, tetapi tidak dalam waktu dekat, karena menunggu infeksinya reda dulu.

Aku sudah tidak peduli. Jari tengahku untuk Skoliosis.

Kulirik kedua orangtuaku yang tertidur kelelahan diatas sofa rumah sakit.kubisikkan pelan ".maafkan putrimu mama...maafkan Runni papa...Runni lelah". Perlahan dan penuh keyakinan...kutarik selang oksigen yang menjulur, kulepas kabel-kabel dan infus yang telah menjadi penopang buatan selama sakitku. 

Rasa sesak mulai menyelimuti paru, hirupan nafas kulalui dengan haru biru. Rasa dingin mulai menjalar ujung kaki, gemetar. Gerbang penghujung hidup sudah nampak didepanku.

Tuhan...aku akan berdamai dengan penyakitku, akan kukembalikan waktu pinjamanMu yang senantiasa bergulir disisiku. Waktu dan takdirMu...bukan milikku, tetapi selalu melingkupiku diantara semua kepastian itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun