Aku tidak bisa membengkokkan punggung, tidur harus dalam posisi lurus, berdiri harus tegak. Obat antiinflamasi sudah seperti permen bagiku, suntikan steroid bagai vitamin bagiku, berguna walau sesaat.
Dan sekarang...setelah duapuluh tahun...Skoliosis tetap ada tanpa detak suara. Diatas tempat tidur kami VIP rumah sakit Mount Elizabeth ini, aku menyerah. Rangka titanium yang terpasang ternyata mengalami pergerseran tangkai baja dan menimbulkan infeksi. Aku djadwalkan operasi pengangkatan titanium, tetapi tidak dalam waktu dekat, karena menunggu infeksinya reda dulu.
Aku sudah tidak peduli. Jari tengahku untuk Skoliosis.
Kulirik kedua orangtuaku yang tertidur kelelahan diatas sofa rumah sakit.kubisikkan pelan ".maafkan putrimu mama...maafkan Runni papa...Runni lelah". Perlahan dan penuh keyakinan...kutarik selang oksigen yang menjulur, kulepas kabel-kabel dan infus yang telah menjadi penopang buatan selama sakitku.Â
Rasa sesak mulai menyelimuti paru, hirupan nafas kulalui dengan haru biru. Rasa dingin mulai menjalar ujung kaki, gemetar. Gerbang penghujung hidup sudah nampak didepanku.
Tuhan...aku akan berdamai dengan penyakitku, akan kukembalikan waktu pinjamanMu yang senantiasa bergulir disisiku. Waktu dan takdirMu...bukan milikku, tetapi selalu melingkupiku diantara semua kepastian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H