Delapan tahun sudah operasi menyakitkan itu berlalu, akan tetapi rasa itu tetap merasuk tulang belulang hingga sekarang. Sang waktu tidak mampu menyirnakannya. Kisah yang selalu memutar ingatan disaat aku duduk sendirian, seperti saat ini.
Usiaku 12 tahun saat itu, ketika mama dan papa akhirnya menandatangani surat persetujuan operasi Skoliosis yang disodorkan oleh Dr Hee Hwan, dokter ahli bedah tulang di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, dokter langganan sejak pertama kali aku didiagnosis sakit sialan itu. Yaah...penyakit itu menampakkan dirinya dengan membuat tulang bahu kananku lebih tinggi dibanding sebelahnya serta salah satu pinggulku lebih menonjol.Â
Nyerinya...jangan tanya..sesak nafas dan nyeri punggung hebat yang tak berkesudahan selalu datang tanpa permisi. Nyeri itu akan berkurang rasanya jika aku rebahan dengan punggung lurus atau berbaring pada sisi tubuh.Â
Mama selalu berusaha membantu meringankan rasa itu dengan mengusap-usap punggungku dikala sakit mendera. "sabar ya sayang...Runni akan segera sembuh...sabar ya" dan aku biasanya hanya menganguk-anggukkan kepala dengan susah payah sambil mengusap air mata.
Dengan berbekal beragam info dan saran dari dokter tanah air, kami akhirnya berjumpa dengan Dr Hee di Singapura. Beliau lah yang dengan sabar mendampingi aku mengenal lebih jauh musuh jahatku itu.Â
Dr senior itu memberitahu papa dan mama bahwa aku menderita Skoliosis Kongental yang merupakan bawaan sejak didalam kandungan dimana tulang belakangku tidak dapat tumbuh dengan normal. Papa dan mama sangat terpukul mendengar itu semua, terlebih mama...nampak sangat bersalah, seolah-olah karena beliaulah yang tidak becus menjaga kehamilan yang meyebabkan putri semata wayangnya menjadi seperti ini. Seandainya saat  itu...aahh waktu tidak dapat diputar ulang mama..
Akhirnya, operasi yang harus dilakukan itu terlaksana. Disaat aku merasakan tidur ternyenyak sepanjang hidupku karena suntikan anestesi, terbang menari bermain bersama kupu-kupu, lupa akan sakit itu...saat itu pula Dr Hee dan beberapa dokter lainnya sibuk membongkar punggungku. Aku bisa bayangkan betapa repot dan lelahnya mereka saat itu.Â
Selama delapan jam menyayat punggung kecilku, memasang sebatang titanium sepanjang 20 centimeter memanjang dari punggung sampai leherku, memasang banyak sekrup baja dengan mengebor tulang kecilku, memastikan semua terpasang sempurna dan kemudian menjahitnya kembali. Dan...yuup rangka besi itu terpasang permanen sepanjang usiaku. Sepanjang waktuku.
Mau tahu rasanya?
Setelah tersadar dari bius itu aku menangis seharian, rasa nyeri setelah operasi terasa perih sepanjang punggungku. Obat yang diberikan Dr Hee hanya manjur sesaat, mengusir sebentar. Mama selalu mengusap usap tanganku, untuk meringankan tangisku, dan tampak dari ekor mataku, papa mengusap sudut matanya. Aku?...aku mulai belajar dengan nyeri itu...bersama sang waktu.
Aku tumbuh berteman dengan rangka besi itu. Mengajakku memintasi masa remajaku, masa dewasaku hingga mungkin masa tuaku nanti. Sang waktu setia menungguku saat aku bergelut dengan egoku, menuntaskan rasa marahku kepada Si Pemberi Hidup. Ketidak adilan yang kurasa membiaskan rasa sakit yang tak terkira. Bukan lagi tentang nyeri punggung permanen, yang sudah kebas kurasa, akan tetapi lebih ke rasa penat dan bosan.Â