Jujur saja, semula, pengetahuan saya mengenai kota Budapest sangat-sangat minimal. Saya tahu, Budapest adalah ibukota Hungaria, Hungary. Tapi, bayangan secantik apa, berapa luas, berapa jumlah penduduknya, bagaimana kondisi lalu-lintas, dan semua atribut mengenai Budapest, "nol besar". Saya tahu, Hungaria, adalah sebuah negara di Eropa Timur, pernah dikuasai rezim komunis, dipengaruhi sangat kuat oleh negara adidaya Uni Sovyet, dan tentunya anggota Pakta Warsawa. Yang terakhir itu adalah aliansi militer negara-negara blok Timur untuk melawan hegemoni Amerika dengan NATO-nya. Semuanya telah berakhir seiring selesainya perang dingin, di awal tahun 1990-an.
Terkuak sedikit pengetahuan saya tentang Budapest saat mendapat kesempatan berkunjung ke sana, 2 minggu lalu. Budapest ternyata "sesuatu banget". Kotanya cantik, bersih, tertata apik.   Di malam hari, ia seperti gadis molek yang bersolek dengan kosmetik dan gincunya. Membuat Budapest elok dipandang dan merak ati.
Bangunan-bangunan tua yang bernilai sejarah tinggi, diselingi 11 jembatan megah, diterangi sokle yang kencar-kencar bak lukisan realis di atas kanvas. Budapest adalah kejayaan masa lalu, yang terus dipelihara hingga kini. Dan itu adalah sebuah peradaban, yang mungkin tak sepenuhnya kita miliki.
Budapest tidak sebesar Jakarta. Luasnya hanya sekira dua per tiga. Jumlah penduduknya sepersepuluh Jakarta. Di siang hari, malah hanya seperduabelasnya. Bisa dibayangkan, betapa rendahnya tingkat kepadatan Budapest dibanding Jakarta.  Kota itu dibelah sungai legendaris, Danube, yang memendam banyak kisah romantis.  Danube sangat jernih. Kalau berdiri di atasnya, kita layaknya bercermin dan menyaksikan wajah sendiri, dilatar belakangi gedung-gedung tua yang melenggok-lenggok di dalam air. Indah sekali.
Saat berada di atas perahu yang melayari Danube, tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Suasana terasa lengang. Pikir-pikir, kemudian tersentak sadar. Ciliwung di Jakarta dan Cikapundung di Bandung terbayang dibawah sadar.  Danube tak semeriah mereka. Tak nampak bilik-bilik MCK bertengger di sana. Membuat suasana seakan tak lengkap.
Budapest gabungan dari 2 suburban. Buda dan Pest. Keduanya dipisah oleh sungai Danube. Sebetulnya masih ada bagian kota lain, yang disebut Obuda. Tapi, ini hanyalah delta kecil yang berada di danau, terusan sungai tadi. Ketiganya, Buda, Pest dan Obuda membangun surga di tengah benua Eropa. Pest adalah dataran rendah, sementara Buda terlihat lebih berbukit. Ia laksana panggung, tempat kecantikan bangunan tua yang terang benderang di malam hari, memamerkan pesonanya.
Pahlawan bangsa yang paling dipuja di Hungaria adalah King Stephen. Raja Stephanus sudah diramal saat berada di kandungan, kelak menjadi orang besar. Ibunya, Ratu Sarolt, seakan mendapat wangsit bahwa puteranya akan menjadi "juru selamat" Hungaria. Raja Stephanus, memang kemudian menjadi bapak bangsa yang dicintai rakyatnya.
Tidak hanya saleh dalam menjalankan ritual agamanya, Raja Stephanus juga dikenal sebagai tokoh yang baik hati. Gemar menyantuni orang miskin, mengobati orang sakit serta mengenalkan pendidikan bagi rakyatnya. King Stephen mempunyai keduanya. Kesalehan sosial dan ritual. Tak heran, kemudian menjadi King Saint Stephen, Raja Santo Stephanus. Raja Stephanus dianggap dinyatakan sebagai "orang suci". Kanonisasi ditahtakan oleh Paus Sylvester II, pada tahun 1038. "Kuserahkan sepenuhnya hidupku untuk Tuhanku dan rakyatku", demikian doa terakhir yang diucapkan sesaat sebelum meninggal, 15 Agustus 1038.
Tak heran saat saya melihat katedral Budapest dinamai "Basilika Saint Stephen". Tentunya ditujukan untuk menghormati jasa besar seorang raja sekaligus santo yang pernah dilahirkan di Hungaria itu. Katedral yang mampu menampung 8500 umat dibangun dalam waktu 50 tahun.
Saat berkunjung ke sana, terlihat Basilika Saint Stephen didatangi ribuan pelancong manca negara. Mereka berdecak kagum dengan ornamen yang ada di dalam basilika. Lukisan-lukisan yang dibuat di atas dinding dan kubah digarap dengan apik, detil, dan penuh cita-rasa seni. Terheran-heran saat terpikir bagaimana para seniman mengukir dan menggambar karya seni pada ketinggian puluhan meter di atas sana. Tapi, itulah yang terjadi. Karya-karya agung lahir dari tangan para orang besar di saat mereka hidup dalam masa keemasan suatu masyarakat. Tertunduk penuh hormat, lebih-lebih saat mengingat, peninggalan budaya agung ini dipelihara dengan saksama, meski telah berusia ratusan tahun, oleh Hungaria masa kini.
Museum of Fine Arts ikut membuat Budapest menjadi  sebuah kota hebat di dunia. Museum ini hanya salah satu dari 233 museum dan galeri yang ada di Budapest. Koleksinya berjumlah 100 ribu macam. Menandakan pengelolaan museum adalah sesuatu yang tidak sederhana. Terlihat bahwa ia dikerjakan dengan sangat professional. Gedung museum yang megah, dibangun 100 tahun lalu masih perkasa dan terawat dengan apik. Barang-barangnya disimpan dalam suatu tempat yang kokoh dan aman.
Seni, budaya, antik, kuno, buku, lebih-lebih yang mengandung nilai sejarah, dipelihara dengan apik oleh negara. Menjadi bukti bahwa manusia berbudaya adalah mereka yang menghargai sejarah. Kehidupan masa lampau menjadi pilar bahwa manusia yang hidup bersamanya adalah manusia beradab. Itu disadari dan dilakukan oleh bangsa Hungaria di Budapest. Tetapi tidak oleh bangsa kita, Indonesia.
Rasa nelangsa, sedih, prihatin, bercampur marah saat membaca Kompas, 6 Oktober 2013 tentang nasib benda-benda masa lampau di museum-museum di Indonesia. Museum Nasional di Jakarta, adalah contohnya. "Museumnya museum ini" dengan enteng memberitakan pencurian koleksi barang-barang bernilai sangat tinggi. Hilangnya 4 benda emas warisan Kerajaan Mataram Kuno abad 10, membuat hati galau, penasaran, tak berkesudahan.
Sangat menyedihkan, karena ini bukan merupakan kejadian yang pertama. Dugaan saya, juga bukan yang terakhir. Baru 3 tahun silam, 87 koleksi emas Museum Sonobudoyo, Yogjakarta raib tak berbekas. Sampai kini, barang-barang bersejarah itu entah ada di mana. Pencurinya pun tak jelas siapa. Masih banyak cerita serupa yang hanya bisa ditangisi belaka. Perhatian negara terhadap benda-benda seperti ini nyaris tak ada. Bahkan museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka, Solo, kini lebih dikenal sebagai "museum replika", karena barang-barang asli telah banyak yang hilang diganti tiruan.
Nilai barang yang lenyap, di banyak museum di Indonesia, tak bisa dinilai dengan angka. Ia bernilai seni, bernilai budaya, bernilai sejarah. Ia bahkan merupakan peradaban itu sendiri. Berbeda dengan Hungaria yang sangat atentif terhadap "kehidupan" ini, bangsa Indonesia cuek bebek dalam menyikapinya. Bangunan kuno bersejarah tak terawat, terbengkelai tak terurus.  Banyak diantaranya bahkan dirobohkan diganti mall atau plaza yang menjadi traffic generator, penyebab kemacetan.
"Budapest, ajarilah kami untuk menghargai barang peninggalan masa lampau. Ia akan menjadi tanda keberadaban kami sebagai suatu bangsa. Kami tertinggal jauh darimu". Demikian harapan kalbu yang terucap saat mengingat kota Budapest.   Harus diakui, kita bukan bangsa yang besar. Karena : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai sejarahnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H