Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Budapest

18 Oktober 2013   08:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:23 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seni, budaya, antik, kuno, buku, lebih-lebih yang mengandung nilai sejarah, dipelihara dengan apik oleh negara.  Menjadi bukti bahwa manusia berbudaya adalah  mereka yang menghargai sejarah.  Kehidupan masa lampau menjadi  pilar bahwa manusia yang hidup bersamanya adalah manusia beradab.  Itu disadari dan dilakukan oleh bangsa Hungaria di Budapest.  Tetapi tidak oleh bangsa kita, Indonesia.

Rasa nelangsa, sedih, prihatin, bercampur marah saat membaca Kompas, 6 Oktober 2013 tentang nasib benda-benda masa lampau di museum-museum di Indonesia. Museum Nasional di Jakarta, adalah contohnya.  "Museumnya museum ini" dengan enteng memberitakan pencurian koleksi barang-barang bernilai sangat tinggi.  Hilangnya 4 benda emas warisan Kerajaan Mataram Kuno abad 10, membuat hati galau, penasaran,  tak berkesudahan.

Sangat menyedihkan, karena ini bukan merupakan kejadian yang pertama.  Dugaan saya, juga bukan yang terakhir.  Baru 3 tahun silam, 87 koleksi emas Museum Sonobudoyo, Yogjakarta raib tak berbekas.  Sampai kini, barang-barang bersejarah itu entah ada di mana.  Pencurinya pun tak jelas siapa.  Masih banyak cerita serupa yang hanya bisa ditangisi belaka.  Perhatian negara terhadap benda-benda seperti ini  nyaris tak ada.  Bahkan museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka, Solo, kini lebih dikenal sebagai "museum replika", karena barang-barang asli telah banyak yang hilang diganti tiruan.

Nilai barang yang lenyap, di banyak museum di Indonesia, tak bisa dinilai dengan angka.  Ia bernilai seni, bernilai budaya, bernilai sejarah.  Ia bahkan merupakan peradaban itu sendiri.  Berbeda dengan Hungaria yang sangat atentif terhadap "kehidupan" ini, bangsa Indonesia cuek bebek dalam menyikapinya.  Bangunan kuno bersejarah tak terawat, terbengkelai tak terurus.   Banyak diantaranya bahkan dirobohkan  diganti mall atau plaza  yang menjadi traffic generator, penyebab kemacetan.

"Budapest, ajarilah kami untuk menghargai barang peninggalan masa lampau.  Ia akan menjadi tanda keberadaban kami sebagai suatu bangsa.  Kami tertinggal jauh darimu".  Demikian harapan kalbu yang terucap saat mengingat kota Budapest.    Harus diakui, kita bukan bangsa yang besar.  Karena : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai sejarahnya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun