“Mak, sampun. Kula mendoan telu kalih kopi lelet setunggal.”
“Pitung ewu cung kabeh”, balas mak Monah.
Segera Badrun membayar dan pergi ke rumah.
Badrun yang merupakan seorang Sarjana lulusan salah satu Universitas terkemuka di negara Gudukindonesia memang dikenal sebagai seorang pengangguran. Bapaknya bekerja sebagai pegawai pemerintah kabupaten di daerahnya. Meski begitu bapaknya ini seorang PNS yang terlalu jujur, sehingga tidak pantas sebenarnya untuk menjadi PNS. Karena PNS di negara Gudukindonesia adalah orang – orang yang serakah dan penuh ambisi untuk kekayaan diri sendiri. Sedangkan ibunya adalah seorang guru di sebuah SD di dekat rumahnya. Beliau saat ini tidak mengajar lagi karena menderita penyakitnya orang kaya. Meskipun begitu keluarga Badrun bukanlah orang kaya. Cukup aneh memang.
Sesaat sampai rumah kembali, Badrun bersih – bersih rumah dan melakukan segala kegiatan yang biasanya dilakukan oleh ibunya.
“Le ibuk sirami”, kata ibunya dengan intonasi yang kurang jelas.
“Enggeh buk”, jawab Badrun.
Selesai memandikan ibunya dan dia pun juga mandi, Badrun kembali ke “singgasana”-nya. Badrun terus saja memikirkan apa yang diucapkan oleh Sukir dan apa yang dilihatnya di televisi di warkop mak Monah. Dalam hati dan pikirannya dia terus bergumam, bagaimana mungkin seorang yang dianggap penista agama tidak diproses secara hukum. Ataupun jikalau diproses maka hasilnya pun sia – sia belaka.
Sambil tiduran, pikirannya pun melayang sampai kemana – mana. Dalam pikirannya, apakah mungkin hal itu bisa terjadi? Kalaupun itu terjadi ada skenario apa dibalik itu semua? Apakah akan ada gelombang peruntuhan negaranya dan umat agamanya? Semua pertanyaan itu selalu melayang di kepala si penggangguran tampan ini. Tak terasa Badrun pun tertidur dengan lelapnya. Seperti biasa, pengangguran tampan tapi goblok akan melakukan kebiasaan tidur tidak penting. Beda halnya dengan si Badrun, apabila dia tertidur dengan sebelumnya melakukan aktivitas berpikir ,yang jarang dilakukannya, maka saat dia terbangun akan muncul pandangan – pandangan yang terlihatnya cemerlang meski aslinya tidak penting sama sekali. Dan pandangannya pun dituangkan dalam sebuah catatan di buku kecil miliknya.
Benar saja, 30 menit berselang dia terbangun seperti layaknya pengangguran pada umumnya, dan mendapatkan pandangan – pandangan mengenai permasalahan yang dipikirkannya. Segera diambilnya buku kecil yang lebih baik berisi info – info lowongan pekerjaan tapi dia gunakan untuk menuangkan setiap pemikirannya.
Pandangan Badrun diawali dengan pernyataan junjungannya, bahwa akan ada masa dimana akan sulit diketahui mana yang benar dan mana yang salah. Badrun berpikir bahwa inilah masa itu. Masa dimana yang sebenarnya benar justru dianggap salah, begitupun sebaliknya. Yang harusnya salah justru dianggap sebuah kebenaran yang haq. Menurut dia, persoalan penyikapan penistaan agama yang dianggap dilakukan oleh gubernur di ibukota negara Gudukindonesia seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang gegabah seperti itu. Pun seharusnya umat yang seagamanya yang lain yang tidak melakukan aksi tersebut, entah itu karena menolak aksi dan mengganggap gubernur itu tidak salah ataupun yang memang tidak ikut aksi tapi tetap mengganggap gubernur itu salah, terus mendukung saudaara – saudara seimannya. Alangkah lebih baik mendoakan mereka.