Mohon tunggu...
Bayu Susatyo
Bayu Susatyo Mohon Tunggu... -

Hanya seorang berkebangsaan dan bertanah air Indonesia yang menginginkan negerinya bener

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Obrolan Pengangguran (1): Wong Edan

14 November 2016   17:10 Diperbarui: 14 November 2016   17:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lusa kemarin, massa yang mengatasnamakan umat dari salah satu agama berdemo menuntut seorang Gubernur provinsi di ibukota untuk diadili atas ulahnya yang dianggap menistakan agama karena menghina kitab suci. Tuntutan agar segera diproses hukum gubernur tersebut begitu menggelora di hati para pendemo. Menjadi sangat wajar apabila aksi yang suci tersebut kadang kala “ditunggangi”. Tayangan di televisi menayangkan secara langsung aksi demo yang dibingkai dalam aksi damai. Bagaimana kondisi ibukota waktu itu juga menjadi sorotan. Media – media online pun tak kalah ramai mereportasekan bagaimana keadaan waktu itu.

Badrun yang hanya bisa menyaksikan aksi tersebut di televisi di warung kopi dekat rumah hanya terdiam tanpa berkomentar apapun. Sambil sesekali meminum kopi hitam khas warkop mak Monah, dia dengan jelas memperhatikan setiap adegan – adegan yang ditayangkan. Skenario tersebut memang akan segera terjadi dan itu sudah dimulai dari tahap awal dengan ditandai demo yang bertajuk aksi damai itu, batin Badrun. Lamunan Badrun buyar saat Sukir dengan kerasnya menepuk bahu Badrun.

“Kowe ki lapo drun kok nglamun wae?”, tanya Sukir dengan keras dan seakan menantang Badrun bertempur di medan kurusetra.

“Oooo celeng, get – geti uwong wae. Kowe rak weruh tah nek saiki kahyangan geger? Jawabnya dengan nada bagaikan Gatotkaca yang siap berperang melawan Karna.

“Lha lapo kok kahyangan geger? Utekmu iki mbok deleh ngendi tho leeee.” Sukir menimpali dengan gembira.

“Asu, malah ngomongi utekku, rak ono urusan ambek utekku mbot.” Sekali lagi Badrun menjawab dengan jengkel.

Sambil tertawa seperti seorang Trump yang baru saja memenangkan pemilihan presiden, “kowe iki rak weruh guyon, mbok yao santai toh ndes haha”, lanjut Sukir, “weruh aku su nek ono demo ngono kui, dan bagiku iku rak penting jane, arep demo koyok opo rak bakalan diadili gubernur kui.”

“Loh lha iso – isone rak sido diadili kepriye toh kang, lak yo rak patut ngono wi” Badrun menimpali dengan semangat.

“Uwes tah kowe percoyo ambek aku, orak – orak nek pak kui diadili. Umpomo diadili pun yo tetap wae kasile yo gak adil.” Lanjut Sukir, “wes disek yo, aku arep budhal miyang disek, mengko sore wae tak baturi ngopi, isuk – isuk ngopi ketok penggangguran buwanget aku, koyok kowe hahaha.”

“Wasuuu, mbokne kirik kowe ancen, iyo ati – ati, nek entuk iwak akeh ojo lali aku dibagehi.” Badrun menjawab dengan tertawa pula.

Badrun pun melanjutkan minum kopinya sampai habis. Percakapan singkat dengan sahabatnya itu agaknya membuat konsentrasi Badrun tentang tayangan di televisi berkurang drastis. Dengan segera Badrun mengakhiri rutinitas paginya di warkop mak Monah dan kembali pulang ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun