Dua minggu lalu, Ibu Negara alias istri tersayang sibuk membuka beberapa laman kuliner dan juga video Youtube. Materi yang ia cari adalah cara membuat keripik ceker. Tampilan pada laman web sangat menggoda dan merangsang Ibu Negara untuk mencobanya.
 "Yah, aku nak mbikin keripik ceker. Mencoba saja. Syukur jadi. Jika pun tidak, yang penting aku sudah mencoba," katanya padaku suatu hari.
"Lajulah, silakan saja. Ayah bagian tukang icip-icip saja, ha ha ha ...," aku mendorong dan tidak lupa sekalian meledeknya.
Beberapa hari kemudian, tepatnya seminggu lalu, ia pun berbelanja ceker ayam potong.
"Haa ..., cuma setengah kilo? Aku pikir beli sekalian lima kilo!" Aku pura-pura kaget.
Tanpa menjawab ia pergi ke sumur membersihkan dan memotong bagian kuku.
"Namanya juga mencoba, Yah, berhasil syukur, tidak berhasil, tidak terlalu rugi," jawabnya sambil terus membersihkan satu demi satu ceker ayam yang beratnya hanya setengah kilogram itu.
Sebagaimana lazimnya prempuan, sebelum ia membersihkan ceker ayam berukuran sedang itu, si Ibu Negara sudah menyiapkan air untuk dipanaskan hingga mendidih. Nah, benar saja, setelah ceker-ceker itu bersih, air di panci kecil sudah menggelegak, mendidih memainkan bunyi khasnya.
Apa sih bedanya merebus ceker ayam pada air mendidih dengan merebus ceker ayam ketika air masih dingin? Ternyata, si ibu Negara ingin mendapatkan daging ceker yang padat. Dia berharap tidak banyak sari ceker ayam yang keluar layaknya akan membuat sop.
Apabila ia akan membuat sop, maka ceker itu direbus bersama air dingin. Mengapa seperti itu, ternyata sudah banyak penjelasannya di internet.
Merebus daging setelah air mendidih, konon 'mengunci' pori-pori daging sehingga sari daging atau juice-nya tidak keluar. Sebaliknya ketika merebus dading bersama-sama dengan air dingin akan menyebabkan pori-pori pada daging terbuka dan akan menghasilkan kaldu sebagaimana rasa daging yang direbus.
Kembali ke ceker si Ibu Negara. Setelah matang, ceker tersebut ditiriskan. Ketika jemari tangannya kuat menahan panas, artinya ceker sudah hangat suam-suam kuku, ia pun memisahkan tulang-tulang yang ada pada ceker. Lalu, tulang-tulang itu dibuang. Tersisa daging ceker yang sangat menggoda kucing yang berada di samping Ibu Negara untuk menyantapnya.Â
Proses memisahkan daging ceker dari tulangnya sudah selesai. Karena hari redup bahkan mendung, daging ceker itu pun disimpan ke dalam kulkas.
"Besok saja menjemurnya," kata si Ibu Negara.
Keesokan hari dengan menaiki tangga lipat, ia pun menjemur daging ceker, selanjutnya aku sebut ceker saja, ya, di atap seng emperan rumah.
Setelah lima hari proses penjemuran, tiba saatnya mencoba menggorengnya dengan minyak panas.
"Sreng ...!" bunyi minyak panas ketika beradu dengan ceker kupas yang sudah kering kerontang.
Setelah ditiriskan si Ibu Negara bersama anak lelaki bungsunya menimbang keripik hasil olahan yang memakan waktu lebih kurang satu minggu itu.
"Haa ..., hanya 80 gram, tidak sampai satu ons!" teriaknya takjub.
Ceker seberat setengah kilogram, setelah diolah selama satu minggu dan digoreng, hasil yang didapat adalah 80 gram alias tidak sampai satu ons.
"Pantas mahal. Harga di sopi satu ons 18.000. Bahkan di salah satu toko di tokped mencapai tiga puluh satu ribuan," jelas si Ibu Negara sambil mencicipi keripik buatan tangannya yang ia olah selama satu minggu. Meskipun begitu, binar cerah terpancar di wajahnya. Ada kepuasan yang aku sulit mendeskripsikannya ke dalam kata-kata.
"Fotolah dan kirimkan ke anak-anak di grup keluarga," kataku setelah sejumput keripik ceker itu habis kutelan.
Musi Rawas, 16 November 2024
Salam Blogger Sehat,
PakDSus
*nak = akan, mau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H