Ketika berangkat ke kantor Dinas Pendidikan yang berjarak lebih kurang 17 kilometer dari rumah, di tempat biasa terlihat beberapa perempuan menjajakan ikan sungai segar. Tempat biasa di mana, sih? Tempat biasa yang kumaksud adalah kampus Universitas Bina Insan di desa Kupang. Jika berjalan dari arah kota Lubuklinggau, di seberang jalan Kampus A Universitas Bina Insan pada tengah hari menjelang petang biasanya ramai orang berjualan ikan sungai segar: baung, gabus, troman, dan kebarau.
"Pulang dari kantor nanti, jika mereka masih, aku akan membeli  barang seekor ikan yang agak besar," batinku.
Motor terus kulaju menuju kompleks perkantoran di Muara Beliti, tempat kantor Dinas Pendidikan berada.
Pertemuan dengan salah seorang pejabat dinas dan teman-teman guru SD dan SMP berlangsung cukup lama. Sekitar satu jam seperempat kemudian, kami keluar dan kembali ke kediaman masing-masing.
Aku melewati jalan yang tadi kulalui. Sebelum sampai di 'tempat biasa' tadi, aku berhenti, meraba kantong dan memastikan ada lembar merah untuk modal belanja.
"Ikan, Mang," tawar seorang perempuan muda sambil menenteng dua ekor ikan baung ukuran sedang. Perempuan itu memanggilku dengan sapaan Mang, kependekan dari mamang atau paman ketika aku melambatkan laju sepeda motor dan mendekati para perempuan penjaja ikan itu.
"Gabus bae, Mang. Murah, seratus tigo puluh bae," kata perempuan lain sambil mengasongkan seekor gabus ukuran sebesar lenganku ditambah beberapa ekor sebesar lengan balita. Kelompok ikan gabus dengan berat lebih dari dua kilogram itu ditawarkan kepadaku seharga seratus tiga puluh ribu rupiah.
Para pedagang ikan sungai di tempat itu semuanya perempuan. Satu orang lagi mendekat dan menawariku jenis ikan sungai lainnya.
"Ini bae, Pak. Ikan kebarau serenteng duo puluh ribu," bujuknya.
Di antara ketiga jenis ikan yang mereka tawarkan, aku memilih ikang baung. Dua ekor ikan baung itu aku tukar dengan selembar uang kertas berwarna merah dan diberinya kembalian selembar uang berwarna biru.
"Lima puluh ribu. Uang rindu ternyata mahal," batinku sambil menerima pecahan uang lima puluh ribuan.
Betapa tidak rindu. Ikan baung yang tergolong ikan cukup mahal itu berasal dari sungai-sungai besar. Ikan itu pula mengingatkanku tentang kehidupan desa di tepi anak Sungai Musi yakni Sungai Rawas.Â
Dua belas tahun lebih aku tinggal di desa tepian Rawas. Selama itu cukup membuatku paham benar rasa daging ikan yang hampir setiap minggu kami nikmati di dusun dengan harga murah. Bahkan jika beruntung, mata kailku menangkap ikan bersengat itu menjadi lauk di petang hari.
Sampai di rumah, dua ekor ikan dengan berat mendekati satu kilogram itu segera kuberikan kepada ibu negara.Â
"Kepala dan ekor aku pindang ya, Yah," katanya. "Silakan," jawabku mengiyakan.
Bahagia rasanya, melihat binar mata ibu negara menerima catfish berprotein tinggi itu meskipun harus kehilangan uang cukup banyak untuk menebusnya.
Setelah tas kuletakkan, aku membuka laptop dan melanjutkan pertemuan Zoom yang terputus dari telepon pintarku. Zoom berakhir, pindang kepala baung pun sudah matang.Â
Masakan dusun Musi Rawas diracik oleh ibu negara yang orang Jawa tidak kalah lezat dengan masakan warga asli Musi Rawas.
Harum serai bercampur pedas jahe dan cabai, pun wangi daun salam dan pedar kunyit, cukuplah menggambarkan betapa lezat aroma kerinduan akan masakah bernama pindang baung.
Musi rawas, 31 Oktober 2024
Salam Blogger Sehat,
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H