Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tiga Kali tapi Bukan Minum Obat, Begini Ceritanya

8 Juni 2024   21:54 Diperbarui: 8 Juni 2024   21:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by KamranAydinov on Freepik.com

Bel sekolah sudah lama berbunyi. Waktu Zuhur pun sudah berlalu. Kewajiban beribadah di tengah hari pun sudah kutunaikan.

Ada satu hal yang menjadi hutang. Aku berjanji memberikan foto kenangan bersama anak-anak kelas enam yang kami ambil di halaman sekolah, sebelah timur tiang bendera.

"Ibu dan Bapak, foto itu akan saya berikan kepada anak-anak, satu orang satu lembar sebagai kenang-kenangan," janjiku kepada orang tua murid. 

Aku ingat di rumah masih tersisa sebungkus kertas foto isi 20 lembar. Bila dicetak dengan printer sendiri, uang yang dikeluarkan tentu tidak sebesar apabila dibawa ke studio foto. Jika dicetak ke tukang cetak foto, sedangkan ukuran foto yang kumaksud sebesar 10R dikalikan 18 orang tentu biayanya tidak sedikit.

"Mau sedekah kok pakai hitung-hitungan, sih?" kata hati kecilku.

"Ya, tidak, lah. Bukan pakai perhitungan, melainkan membandingkan saja seandainya dibawa ke tukang foto," jawab hatiku pula.

Mas Joni, penjaga sekolah kami, melihat aku tidak kunjung pulang ia berpamitan dan menitipkan anak kunci cadangan.

"Yang ini kunci pintu kayu, ini kunci pintu besi yang atas dan bawah. Saya pulang dulu, Pak. Mau njemput ibu," kata Joni sopan, berpamitan.

Tinggallah aku sendiri dan bergumam, "Ngeprin foto kan tidak lama. Apalagi cuma 18 lembar."

Setelah menyeruput kopi buatan Joni, aku berjalan menuju ruang komputer. Kukeluarkan kertas foto dan mulai mencetak foto seukuran kertas A4 itu selembar demi selembar. 

"Lo, lambat sekali. Satu lembar bisa memakan waktu hingga hampir tiga menit?" Aku terheran-heran. Nyatanya kertas foto keluar lambat sekali. Akan tetapi fotonya bagus meskipun tidak diedit dengan aplikasi milik profesional.

Aku tidak berani mengutik-utik settingan. Takut keliru. Belum lagi aku nurut kata Mas Adi, si ahli IT kami.

"Setelah ngeprin sepuluh lembar istirahat dulu."

Katanya agar kepala katrid tidak panas, dengan demikian alat cetak elektronik itu menjadi awet. Sebagai user aku sih nurut saja. Lagi pula printer seri itu memang harganya cukup lumayan, sekitar lima jutaan.

Sambil menunggu delapan lembar berikutnya, aku berselancar di internet melalui hape, sebab laptop sedang dipakai untuk mencetak foto. Kadang aku lupa, hingga satu lembar berlalu aku belum kembali juga ke ruang komputer yang hawanya seperti di dalam oven pemanggang kue.

Satu jam lebih aku menyelesaikan pencetakan foto kenangan yang akan aku bagikan hari Senin yang akan datang. Lebih dari sejam karena aku sambi dengan melakukan aktivitas lainnya.

"Cukup. Waktunya pulang," bisik batinku.

Aku pun berkemas-kemas. Sisa kopi yang sudah dingin tetap kuseruput. Setelah memastikan perabotan yang harus kubawa pulang tidak tersisa, aku segera menuju ke pintu keluar.

"Ini kunci yang panjang untuk mengunci pintu kayu, yang lebih kecil dan seperti bocah kembar ini untuk mengunci pintu besi," gumamku.

Pintu kayu segera kututup. Uff, seret. Apalagi cantolan gemboknya tidak pas pada kupingnya. Membutuhkan sedikit upaya untuk memasangnya. Sesudah itu, gembok dengan besi panjang segera kupasang.

"Beres," batinku.

Berikutnya, pintu besi kututupkan. Ketika akan mengunci aku mengalami kesulitan. Pegangan grendel berimpit dengan pintu kayu sehingga tidak bisa dikunci.

"Lah, kenapa pintu kayu dulu yang aku kunci? Seharusnya pintu besi dulu, baru pintu kayu!" Aku mengomel dalam hati. 

Pelan kubuka gembok dan dengan sedikit tenaga kulepas cantolannya. Benar seperti kuduga mengunci pintu menjadi lebih mudah. Kunci besi terkunci dengan mudah dari luar. Tibalah giliran mengunci pintu kayu.

"Der!" Suara daun puntu beradu dengan kusen terdengar akibat kutarik paksa karena seret.

Selesai. Aku berjalan menuju motor. Kunci kontak yang kusatukan dengan anak kunci cadangan pemberian Joni itu segera kupasang ke lubang kunci motor. 

"Ke mana helmku?" Aku tidak melihat helm di motor.

"Ha ...! Masih di dalam kantor, tadi kuletakkan di atas meja. Waduh, harus buka pintu lagi!" Aku meradang. Tetapi marah juga tidak ada gunanya. Helm tetap di dalam jika tidak kuambil.

Huff ... terpaksa mbuka kunci, lalu mengunci lagi. Cacam ... Tiga kali kayak minum obat.

"Aku koyo wong pikun," batinku sambil memasang helm di kepala dan menguncinya. Klik!

Musi Rawas, 8 Juni 2024
PakDSus

*cacam = kata seru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun