"Maaf, Pak, Teman-teman dan wali murid cukup banyak yang keberatan. Akan tetapi, mereka tidak berani kepada pihak Madrasah. Saya memberanikan diri membawa suara mereka, Pak. Semoga Bapak berkenan."
Bapak Kepala Madrasah terlihat mengangguk-anggukkan kepala.Â
"Ehem, ... Alun," kata Bapak Kepala Madrasah sambil menatap tajam kepadaku.
Sekilas kami beradu pandang. Namun, demi menjaga kesopanan, aku segera menundukkan kepala dan menjawab.
"Saya, Pak."
"Coba lanjutkan ceritamu. Semoga saya bisa memahami keadaan."
Mendengar suara beliau yang berwibawa dan memintaku untuk bercerita lebih banyak, keberanian yang susah payah kukumpulkan makin menebal. Aku pun melanjutkan ceritaku.
"Teman-teman saya sebenarnya mau ikut. Tapi, kami mikir biayanya, Pak. Orang tua kami hanya buruh tani biasa. Untuk kebutuhan sehari-hari dan bayar kebutuhan sekolah saja sering telat. Belum lagi untuk kebutuhan adik-adik saya."
"Baik, terima kasih. Kamu boleh keluar. Masalah ini biarkan saya bicarakan dengan para guru nanti."
Lega rasanya. Uneg-uneg sudah aku sampaikan kepada kepala madrasah. Yang kusampaikan bukan hanya kondisi keluargaku, melainkan kondisi banyak keluarga senasib.Â
Aku berharap, sekolah membuat keputusan yang bijaksana. Andaikan sekolah tetap bersikeras mengadakan study tour, aku dan teman-teman yang kurang mampu, tetap tidak ikut.