Saya tertarik dengan cerita mini berjudul Nonton Karnaval karya Kompasianer Budiyanti. Akhirnya saya iseng membuat cerita "lanjutan" dari cerita atau fiksi mini karya beliau berjudul Mirna.
Sebelum saya publikasikan ke Kompasiana, draf tulisan saya bagikan ke grup Whatsapp RVL. Respon positif dari sang penulis dan Kompasianer Budiyanti melanjutkannya dengan fiksi mininya berjudul Nonton Karnaval Seri 2.
Cerita ini merupakan lanjutan dari cerita Nonton Karnaval Seri 2 tersebut. Semoga terus bersambung, bergantian dengan penulis pertamanya.Â
Mari kita simak ceritanya!
Teringat Saudara Kembar
Oleh: PakDSus
Rasa malu, kecewa, dan jengkel menjadi satu di dada Marni. Jangankan bersikap ramah karena dia salah memeluk orang, si perempuan gendut yang dipeluknya bahkan membentak.
"Mas ...!" ucap Marni sambil menggandeng Marno.
"Sudah, lupakan saja. Lagian Ayang juga yang main peluk perempuan gemuk," kata Marno menenangkan Marni.
Mata Marni mendelik. Mendengar kata gemuk, jarinya mencubit lengan Marno dengan keras.
"Aduh, kok beneran, sih?" Marno menjerit sambil.mengusap bekas cubitan Marni.
"Jangan bilang gemuk lagi!"
"Loh, kan aku bilang perempuan itu. Bukan Ayang. Ayang sih BBW, byutipul big women!" ledek Marno sambil mengusap dagu istri tercintanya.
Kedua suami istri yang masih terbilang pengantin baru itu berjalan menuju tempat parkir. Mereka tinggal menunjukkan kartu parkir. Ongkos parkir sudah dibayar di depan.Â
Sementara, iring-iringan karnaval sudah meninggalkan panggung utama. Peserta karnaval yang tersisa menyelesaikan rute yang harus mereka lalui.
Perlahan motor bebek matik yang kelihatan kelebihan muatan itu berjalan meninggalkan tempat karnaval.Â
***
Hari terus berputar. Terik mentari tengah hari telah berganti temaram senja. Suara pengeras suara di masjid dan musala seakan berlomba menyampaikan beragam pesan. Bacaan ayat suci, salawatan, dan puji-pujian bersahut-sahutan.Â
Di desa Marno ada beberapa musala dan satu masjid Jamik. Masjid mengeraskan suara para remaja yang membaca ayat-ayat Allah dengan suara merdu. Kebiasaan menjelang kumandang azan Maghrib itu sudah lama dilakukan.
Sementara musala-musala di sudut kampung tidak kalah keras menyiarkan anak-anak yang belajar mengaji. Ada yang baru mengenal mikrofon, sehingga ia ingin suaranya terdengar melalui corong musala. Suaranya bersahutan dengan nada yang membuat gemas siapa pun yang mendengar.
Pengurus musala seakan tidak peduli akan kegaduhan yang ditimbulkan.
"Jika anak-anak dimarahi, mereka lalu meninggalkan musala, main ke mana mereka? Dari rumah pamit ke musala. Lalu kita usir mereka? Saya khawatir mereka malah duduk-duduk di bibir jalan di atas sungai kecil di depan sana," kata pengurus beralasan.
Akhirnya, begitulah suasana menjelang pergantian hari. Waktu Maghrib adalah waktu yang dihiasi dengan bunyi-bunyian bernada religius. Akan senyap jika ritual salat Maghrib usai dilaksanakan. Biasanya, Azan Isya berkumandang tanpa didahului dengan bacaan-bacaan. Paling hanya puji-pujian, nada-nada berhias syair kebaikan menunggu sang Imam siap memimpin ibadah, salat berjamaah.
Menunggu sang suami pulang dari musala, Marni duduk di kursi malas. Kursi malas peninggalan ayahnya masih kerap dipakainya untuk merehatkan badan.
Diiringi goyangan kursi malas, angan Marni berkelana ke masa lalu. Masa ketika kedua orang tua mereka masih utuh. Ketika ia bersama adik kembarnya bermain bersama.Â
Dua gadis kecil berbadan subur itu selalu bersama, bermain bersama. Saudara kembar yang rukun dan jarang bertengkar.Â
Papan congklak dengan buahnya berupa kerang-kerang kecil menjadi alat bermain kedua gadis kembar itu. Demikian juga bola bekel dengan buahnya yang terbuat dari logam berwarna keemasan juga menjadi sarana bermain kedua gadis kembar, Marni dan Mirna.
Hingga suatu hari, kebahagiaan kedua gadis cilik kembar itu terenggut. Mereka yang tidak tahu-menahu urusan rumah tangga dikejutkan dengan keputusan kedua orang tuanya yang tahu-tahu mengajak mereka ke lingkungan yang asing.Â
Marni dibawa sang ayah, Mirna ikut dengan sang ibu. Kedua anak kembar itu tidak mengerti tentang perceraian. Mereka tidak lagi bersama karena kedua orang tua mereka memisahkan kebersamaan mereka dengan membawa masing-masing anaknya ke tempat baru.Â
Anehnya, kedua anak itu tidak bertangisan. Mereka tidak tahu bahwa itu awal mereka tidak saling bertemu.Â
"Ayah, kapan aku bertemu Mirna?" tanya Marni suatu hari.
"Nanti," jawab ayahnya pendek.
Saat itulah Marni baru menitikkan air mata karena rasa rindu yang sungguh menggebu.
"Assalamua'alaikum ... assalaamu'alaikum!"
Dua kali ucapan salam membangunkan Marni dari angannya.Â
"Wa'alaikum salam. Oh, Mas, sudah pulang," sahut Marni sambil beringgut turun dari kursi goyang peninggalan ayahnya.Â
Segera ia ke dapur dan menyiapkan makan bersama suaminya tercinta.Â
Marni berjanji, sebelum tidur nanti, ia ingin bercerita kepada suaminya tentang Mirna seperti yang baru saja ia angankan.***
Musi Rawas, 22 September 2023
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H