Akhirnya, begitulah suasana menjelang pergantian hari. Waktu Maghrib adalah waktu yang dihiasi dengan bunyi-bunyian bernada religius. Akan senyap jika ritual salat Maghrib usai dilaksanakan. Biasanya, Azan Isya berkumandang tanpa didahului dengan bacaan-bacaan. Paling hanya puji-pujian, nada-nada berhias syair kebaikan menunggu sang Imam siap memimpin ibadah, salat berjamaah.
Menunggu sang suami pulang dari musala, Marni duduk di kursi malas. Kursi malas peninggalan ayahnya masih kerap dipakainya untuk merehatkan badan.
Diiringi goyangan kursi malas, angan Marni berkelana ke masa lalu. Masa ketika kedua orang tua mereka masih utuh. Ketika ia bersama adik kembarnya bermain bersama.Â
Dua gadis kecil berbadan subur itu selalu bersama, bermain bersama. Saudara kembar yang rukun dan jarang bertengkar.Â
Papan congklak dengan buahnya berupa kerang-kerang kecil menjadi alat bermain kedua gadis kembar itu. Demikian juga bola bekel dengan buahnya yang terbuat dari logam berwarna keemasan juga menjadi sarana bermain kedua gadis kembar, Marni dan Mirna.
Hingga suatu hari, kebahagiaan kedua gadis cilik kembar itu terenggut. Mereka yang tidak tahu-menahu urusan rumah tangga dikejutkan dengan keputusan kedua orang tuanya yang tahu-tahu mengajak mereka ke lingkungan yang asing.Â
Marni dibawa sang ayah, Mirna ikut dengan sang ibu. Kedua anak kembar itu tidak mengerti tentang perceraian. Mereka tidak lagi bersama karena kedua orang tua mereka memisahkan kebersamaan mereka dengan membawa masing-masing anaknya ke tempat baru.Â
Anehnya, kedua anak itu tidak bertangisan. Mereka tidak tahu bahwa itu awal mereka tidak saling bertemu.Â
"Ayah, kapan aku bertemu Mirna?" tanya Marni suatu hari.
"Nanti," jawab ayahnya pendek.
Saat itulah Marni baru menitikkan air mata karena rasa rindu yang sungguh menggebu.