Suara siulan terdengar dari kamar mandi. Tidak terdengar suara byur-byur. Lelaki paruh baya itu mandi dengan sower, pancuran air yang ia sambungkan ke pipa paralon yang terhubung ke toren air berwarna oranye di bagian atas atap rumahnya.
Tidak terlalu menyembur, seperti sower hotel bintang lima. Namun, guyuran airnya terasa di badan. Apalagi lebar pancuran mandi yang ia pasang cukup luas dan lubang kecil pada bagian mulutnya sangat banyak.
"Brr ...!" suara bibir lelaki itu menandakan bahwa ia sedang melawan dingin air yang keluar dari sower.
Aliran air ia matikan. Sabun batangan yang sudah tipis itu ia ratakan ke sekujur badan. Buih yang ia harapkan tidak terlalu banyak. Ia pun menghidupkan kembali keran air. Guyuran air pada sabun yang ia gosokkan di badan menimbulkan buih yang banyak. Kembali keran ia matikan. Buih sabun dengan lancar ia balurkan ke bagian tubuh tuanya.
"Segar nian, oi!" teriaknya.Â
Teriakan itu sesunguhnya caranya memanipulasi dingin pagi.Â
Setelah buih sabun merata, keran ia hidupkan. Pancuran air kembali mengucurkan air. Lelaki yang di lingkungan rumahnya dipanggil Guru Eko itu pun membilas tubuhnya yang penuh buih sabun sambil terpejam, takut pedih.
Sambil terpejam ia membayangkan Hotel Sahid, Hotel Jayakarta, dan Hotel Anggrek di Jakarta. Hotel-hotel yang pernah ia kunjungi ketika diikutkan dalam beberapa pelatihan. Dahulu, puluhan tahun lalu.
Ketika badannya terasa bersih dan kesat dan matanya terbuka, bayangan hotel berbintang lima itu pun buyar. Ia hanya mendapati sower sederhana dalam kamar mandi kecil yang warna keramiknya pias termakan usia.
"Bu ... handuknya mana?"Â