Jam di tangan Eko masih menunjukkan pukul 06.30. Masih cukup waktu untuk sampai di rumah sekolah. Sepeda motornya ia pacu dengan kecepatan sedang. Sesekali angka jarum spedometer sampai pada angka 60 dan segera menurun ketika berpapasan dengan rombongan anak sekolah. Anak-anak SMA Negeri, anak MA Muhajirin, atau para orang tua yang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah.
Ketika memasuki simpang tiga, lampu sein kanan ia nyalakan. Matanya nanar menatap spion kiri dan kanan. Eko akan berbelok ke kanan. Jika sudah sampai simpang tiga ini, jarak ke sekolah tidak sampai enam kilometer lagi.
Lambat-lambat ia pacu sepeda motor yang sudah menemaninya lebih dari sepuluh tahun itu. Sambil mewaspadai kendaraan yang melintas, Eko bersenandung. Ia menyanyikan lagu Guruku Tercinta.Â
Pagiku cerahku matahari bersinar, Kugendong tas merahku di pundak
Slamat pagi semua, Ku nantikan dirimu, Di depan kelasmu menantikan kami
Guruku tersayang, Guru tercinta, Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal, Guruku terima kasihku
Sambil bernyanyi, kadang badannya ikut melenggok seiring irama lagu. Baru sampai syair 'Guruku terima kasihku', ia tidak melihat ada lubang di depannya.Â
Lubang di jalan itu tidak lebar, tetapi dalam. Roda sepeda motornya yang berukuran 14 terpesosok cukup dalam. Untung ia tidak terguling. Akan tetapi Eko cukup kaget.Â
"Astaghfirullaah!" ucapnya.
Satu kilo lagi ia sampai di sekolah. Ia pacu sepeda motornya dengan lebih berhati-hati. Ia tidak lagi bernyanyi. Pandangannya fokus ke tikungan dan sebentar lagi menyeberang untuk masuk ke gang. Di sebelah kiri jalan masuk gang itulah sekolah Eko berada. Ia sudah hampir tujuh tahun semenjak ia dimutasi dari sekolah sebelumnya.
"Selamat pagi, Pak!" teriak anak-anak kelas dua.
"Selamat pagi," jawab Eko. Sepeda motor dibawa ke parkiran.Â
Sambil menggendong tas hitamnya, Eko berjalan menuju ruang guru untuk presensi.
"Itu, plastik apa itu. Tolong dong, Mbak, dipungut. Masukkan ke tempat sampah," kata Eko ketika ia berpapasan dengan regu piket dan melihat ada plastik bekas makanan yang belum tersapu.
Anak-anak yang tidak piket terlihat berlarian. Mereka bermain sambil menunggu bel sekolah berbunyi dan berbaris rapi masuk ke dalam kelas masing-masing.
"Assalaamu'alaikum!" Eko memberi salam ketika masuk ke ruang guru. Sudah banyak guru yang  hadir.
"Wa'alaikum salaam!" jawab teman-temannya.
Setelah ia meletakkan tasnya, ia berjalan menuju dispenser air minum. Ia mengambil gelas dan menuang air dingin, lalu sebagian lagi ia isi dengan air panas. Setelah duduk, air hangat itu diminumnya.
"Pak Eko, tahu tidak. Kelas enam lagi viral!" kata Bu Ani.
Merasa ia mengajar kelas enam, Eko pun balik bertanya.
"Viral bagaimana, Bu?"Â
 "Itu nah, ikut-ikutan di Tik Tok. Kata-kata hari ini, Gaes!" timpal Bu Fitri.
"Terus kenapa?" tanya Eko kembali.
"Idak apo-apo, Pak. Cuman kata-katanya kadang carut," kata bu Fitri kembali. Perempuan kelahiran Lahat itu menjelaskan dengan campuran.
Carut adalah istilah untuk ucapan atau kata-kata kotor.
Anak-anak adalah peniru yang baik. Apa yang ia lihat atau tonton kadang ditirunya. Apalagi jika menimbulkan riuh. Mereka akan senang.Â
Manakah hal viral di media sosial yang tidak ditiru anak? Namun demikian, jika meniru hal yang tidak baik mereka harus diarahkan agar tidak meniru atau melakukan.
"Makasih, Bu Fitri. Nanti saya beri tahu anak-anak kalau masih saja berbuat seperti itu." Eko mengucapkan terima kasih kepada Bu Fitri.
Jam pertama hingga jam ketiga pembelajaran berjalan lancar. Anak-anak mengikuti pelajaran yang diberikan Eko dengan baik. Guru yang biasa dipanggil Pak Eko itu sebenarnya bertemperamen cepat marah. Namun, seiring usia, ia selalu berusaha menahan diri.
Setiap dua puluh menit sekali, Eko melakukan ice breaking. Ia tahu, anak-anaknya tidak bisa konsentrasi dalam waktu lama. Jika dibiarkan belajar tanpa selingan, kelas bakalan gaduh dan mereka pun lesu.
Pukul 9.15 terdengar bel elektronik berbunyi.
"Ding dong ... ding dong ... Saatnya istirahat!"
Eko pun menyilakan murid-muridnya untuk beristirahat.
Belum sampai sepuluh langkah, terdengar suara Reyhan.
"Kata-kata hari ini, Gaes!"
Eko sengaja tidak menengok ke belakang. Ia membiarkannya hingga ada anak yang menjawab. Teriakan Ridwan pun segera disahut.
"Belajar terus, badan kurus!"
Anak-anak perempuan dan laki-laki sontak tertawa.
Langkah Eko terhenti. Ia menoleh ke belakang. Oki, anak yang menyahut ucapan Reyhan pergi berlari.
Anak-anak mengira, gurunya akan marah. Ternyata tidak. Sang guru hanya tersenyum. Wajah tegang anak-anak pun kembali normal.
Langkah kaki Eko dipercepat agar sampai ke ruang guru lebih awal.
"Benar, Bu Fitri," kata Eko sambil menghempaskan pantatnya di kursi kayu yang masih baru.
"Benar apa, Pak?" tanya Bu Fitri, "O, yang aku ceritakan kemarin? Apa katanya, Pak?"
"Begini," jawab Eko. Ia lalu menirukan yang dikatakan Reyhan tadi. Hal itu membuat semua guru tertawa.Â
Sambil menikmati kudapan sederhana di mejanya, Eko berpikir, "Apa yang harus kulakukan agar anak-anak masih bahagia menikmati hal viral di media sosial, namun masih dalam koridor pendidikan?"
"Aha!" tiba-tiba Eko berseru.
Para guru yang masih mengobrol satu sama lain matanya tertuju kepada guru kelas enam itu.
"Ada apa, Pak? Kayak nemu ide baru?" komentar Bu Ana, guru kelas dua.
"Maaf kalau bikin kaget. Ya, itu tentang hal viral yang Bu Fitri bilang kemarin," jawab Eko.
"Bu Fitri, kata-kata hari ini, Gaes!" ucap Eko dengan mimik lucu. Guru paruh baya itu suka membuat tawa teman-temannya.
"Apa?" Bu Fitri balik bertanya.
"Ayo, Bu Fitri. Kata-kata hari ini!" ulang Eko memaksa.
"Lebih baik makan lauk seadanya daripada makan mewah duit utang di mana-mana!" Bu Fitri pun terpaksa menjawab.
"Ha ha ha ...."Â
Tiba waktunya masuk jam keempat. Para guru menuju kelas masing-masing. Eko pun bergegas ke ruang kelas.
Anak-anak kelas enam terdiam. Raut muka Reyhan dan Eki terlihat tegang. Ia khawatir pak gurunya akan mengungkit kejadian ketika istirahat.
"Anak-anak, nampaknya ada yang viral, nih, di kelas kita," kata sang guru memecah keheningan.
"Iya, Pak. Itu anak laki-laki yang suka minta 'kata-kata hari ini', Pak!" teriak anak-anak perempuan.
"Hmm ... apakah perempuan tidak melakukan?" tanya sang guru.
Semua diam. Dhea memberanikan diri menjawab, "Kadang-kadang, Pak!"
"Baik. Pak Guru tidak marah, akan tetapi saya ingin kalian mencari kalimat untuk pembangkit motivasi yang sesuai umur kalian. Nah, besok pagi, saya dan kalian akan bermain peran, kalian menjawab kata-kata motivasi yang sudah disiapkan.Â
"Susah, Pak!" teriak anak-anak.Â
"Anak-anak hilangkan kata susah! Gantilah dengan kalimat 'siap mencoba pak'. Begitu, dong. Pikirkan, jika belum menemukan juga, Cari di Google dengan kata kunci kata-kata motivasi belajar. Minta bantuan orang tua atau kakak kalian," perintah sang guru.
Keesokan hari, Eko bersama muridnya bermain peran seperti yang mereka janjikan. Permainan itu dimulai pada jam pertama, sesudah jam istirahat pertama, dan jam istirahat kedua.
Pada jam pertama sang guru kelas enam sudah bersiap. Sebelum memulai pelajaran ia berkata.
"Halo, Anak-anak! Kalian sudah siap? Hari ini saya meminta lima orang dahulu, nanti jam pertama lima orang, sesudah jam kedua lima orang. Sisanya besok lagi. Kita mulai, ya! Safella, silakan maju!"Â
Anak bernama Safella pun maju. Pak Eko bertanya.
"Safella, kata-kata hari ini!" sang guru berakting layaknya artis Tik Tok kepada Safella.
Safela yang sudah menyiapkan jawaban sebelumnya lancar menjawab.
"Hormati gurumu, sayangi teman. Itu tandanya kau murid budiman!"
"Huuuu ... kuwi lagu!" teriak temannya.
"Yo, ben, si?" jawab Safella sambil berjalan ke tempat duduknya.
Anak-anak gembira. Pelajaran hari itu dipenuhi semangat.
Musi Rawas, 24 Mei 2023
PakDSus
*idak apo-apo = tidak apa-apa
*kuwi lagu = itu lagu
*ben = biarÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI