Rabu pagi, dua puluh dua Maret dua ribu dua puluh tiga. Guru paruh baya bernama Eko sedang libur. Tanggal merah, peringatan Hari Raya Nyepi. Umat Hindu di Indonesia memperingati Nyepi. Saya sebagai muslim menghormati.Â
Pemerintah menghormati dengan memberikan libur kepada mereka yang merayakan. Saya dan teman-teman non-Hindu ikut merasakan libur bekerja sebagai ASN. Meskipun libur, warung kecil Pak Guru tidak buka. Ikut libur! Sang pemilik yang tidak memiliki karyawan itu sedang bersih-bersih rumah.Â
"Besok puasa, selain hati dibersihkan, rumah dan lingkungannya juga harus dibersihkan," gumam Guru Eko sambil mengelap kaca-kaca dan daun pintu.Â
"Warunge tutup, Pak Guru?" sapa seorang lelaki tua setelah turun dari sepeda.
"O, Mbah Rahmat. Nggih Mbah, libur. Ikutan libur juga warungnya. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Guru Eko ramah.
"Mau beli pulsa ... e ...," jawab lelaki tua yang dipanggil Mbah Rahmat ragu.
"Aman, masih bisa dilayani. Ini nyambi nyicil bersih-bersih, Mbah. Mari duduk dulu. Saya ambil hape dulu, ya!" kata Guru Eko. Ia menghentikan pekerjaannya.
Sejurus kemudian, Guru Eko keluar sambil membawa hape.
"Silakan, pulsa berapa, nomornya berapa?" Guru Eko duduk berjejer dengan konsumennya.
Kedua orang itu pun terlihat asyik melakukan transaksi. Setelah selesai, Mbah Rahmat berpamitan. Guru Eko kembali sibuk dengan pekerjaannya. Meneruskan membersihkan bagian-bagian rumahnya.
Sudah Beli Takjil?
Menjelang waktu Zuhur, Guru Eko beristirahat. Tampak ia memandangi hasil pekerjaannya. Ia pun mengemasi peralatan yang ia pakai untuk membersihkan rumah dan lingkungan sekitarnya.
Selepas Zuhur, Warung Pak Guru dibuka. Kemoceng yang dipegang Guru Eko menari-nari membersihkan beberapa barang di etalase. Guru Eko cukup rajin membersihkan sehingga tidak banyak debu-debu yang beterbangan. Namun, untuk memastikan bahwa barang dagangannya berupa buku dan alas tulis lainnya bebas dari debu kemoceng ditangannya terus ia kibas-kibaskan.
"Ayah, besok kita puasa. Karena anak-anak tidak ada yang di rumah, ayah mau takjil apa untuk berbuka besok?" istri Guru Eko duduk dikursi plastik di balik etalase warungnya.
"Takjil, maksudmu?" Guru Eko balik bertanya. Wajahnya memandang wajah istrinya.
"Loh, memang ada yang salah dengan kata takjil, Ayah?" Bu Eko balik bertanya. Ia cukup heran. Tahun belakang ia merasa tidak ada yang aneh dengan kata takjil yang ia ucapkan.
"Nggak papa, hanya ayah mendapat pencerahan tentang kata takjil," jawab suami Bu Eko.
"Apa itu? Ibu kok jadi penasaran?" tanya Bu Eko sambil menggeser tempat duduknya.
"Begini, Bu. Kata Takjil / ta'jil () artinya adalah bersegera atau menyegerakan. Menurut sumber yang ayah baca, ada hadis Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi La yazalunnasu bikhairin ma'ajjaluuhul fithra. Artinya: Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa). Hadis ini riwayat Muttafaq 'alaih," jelas Guru Eko.
"Makna takjil menurut ilmu bahasa arab ialah penyegeraan, bersegera, percepatan. Begitu," imbuh guru berkaca mata plus satu setengah itu.
"O, jadi ta'jil itu bukan makanan ya, Yah?" tegas Bu Eko.
"He he he ... iya. Jika besok siang ada yang nanya sudah beli takjil, tepat nggak?" Guru Eko meyakinkan istrinya.
"Ya, nggaklah kalau begitu keterangannya," jawab istrinya.
"Nah, mumpung masih siang, yuk kita ke pasar beli kurma untuk takjil besok!" ajak Guru Eko.
"Ayah ...!" tukas Bu Eko sambil mencubit pipi suaminya.
"Ha ... ha ... ha ..., lupa!"
Musi Rawas, 1 Ramadan 1444 H
PakDSus
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI