Selama beberapa bulan terakhir semakin banyak informasi tentang kekerasan yang tersebar di media sosial. Padahal media sosial sebenarnya adalah tempat berbagi informasi.Â
Namun, saya tidak tahu mengapa jenis dan pola kekerasan semakin sering terjadi. Pesan kekerasan ini mudah kita temui, baik melalui media arus utama (mainstream) maupun platform media sosial, misalnya WA, Facebook, Twitter, TikTok, SnackVideo, dan sebagainya.Â
Hampir setiap detik jutaan, mungkin ratusan juta pesan, dibuat dan didistribusikan di media sosial.Â
Mulailah dengan sesuatu yang sederhana seperti mengumumkan cuaca hari ini, hingga informasi segera seperti bencana alam, kebakaran, kejahatan begal, maupun aksi "klitih" di Yogakarta dan Jawa Tengah. Semua tersaji dan tersedia di media sosial pengguna.
Kita dapat berperan sebagai pengguna sekaligus produsen berita. Siapa pun yang memiliki akun dapat membuat konten. Seiring waktu ia juga akan menjadi konsumen konten pengguna lain. Berbalas komentar teman di Facebook, Twiter, atau media lainnya jamak dilakukan.Â
Baru-baru ini beredar video tentang drama pengejaran pelaku pembac*kan (ganti tanda bintang dengan huruf 'o') yang akhirnya ditabrak oleh pengejarnya.Â
Salah satu akun twitter @murtadaOne1 mengunggah video tersebut disertai video lainnya. Satu video dianggap sebagai sebab kejadian, sedangkan satu video lagi sebagai akibat. (Pembaca bisa melihatnya di sini) Â
Beragam komentar netizen. Ada yang mengritisi sembari mencibir. Ada pula yang memberi komentar dengan komentar dengan kata-kata vulgar.
Unggahan Visual Maupun Tulisan di Media Sosial Semakin Vulgar
Baik unggahan visual maupun unggahan tulisan bernuansa kekerasan mudah sekali ditemukan.Â
Setiap orang, didasari rasa penasaran dan keinginan dianggap sebagai pemberi informasi pertama akan sangat mudah mencari dalih menyebarkan konten-konten yang mengandung kekerasan.