Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Salah Paham

12 September 2022   19:11 Diperbarui: 12 September 2022   19:33 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi karya Tiara dibacanya berulang-ulang. Ada rasa haru berselimut di dada. Kertas HVS setengah halaman itu ia dekap di dada. Kertas itu bergerak naik turun seiring udara dalam paru-parunya mengembang dan mengempis. 

Bolehkah Kami
Oleh: Tiara

Bolehkah kami meminta
agar pak guru jangan pensiun dulu
mendidik kami hingga lulus nanti
karena kami baru separuh jalan

Pak guru kami memang sudah tua
namun beliau penuh canda tawa
tidak pernah menghardik ataupun marah
dengan sabar mengajari siswa hingga bisa

Kalau boleh kami meminta
izinkan ia bersama siswa
berjuang menghadapi ujian
hingga kami lulus dengan gemilang

"Uti ... jika kamu masih ada, pasti kamu pun akan haru membaca puisi ini. Mengajar, mendidik, dan menyayangi yang pernah aku baca di Kompasiana mulai berbuah. Mereka masih mengharapkanku untuk membersamainya," lirih, lisan guru tua itu bergumam.

Pandangan mata lelaki itu menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Ada bayangan yang terlihat jelas di sana. Sosok Uti sang belahan hati yang belum lama pergi. Bayangan itu kian memudar lalu hilang ketika ia selesai berbicara. Bicara sendiri pada malam di ranjang yang sunyi.

Tangan kanan pak guru yang hampir pensiun itu mengusap sprei ranjang. Kosong. Hanya bantal guling dacron terbalut sarung bantal bermotif bunga kesayangan Uti. 

Dari dalam kamar yang pintunya belum tertutup ia melihat jarum jam belum menunjukkan pukul sepuluh. Namun, sedari tadi ia tidak bisa memicingkan mata. Perlahan ia bangun. Lalu, duduk di tepi ranjang dengan kaki terjuntai. Sesaat kemudian ia berdiri menuju sandal jepit refleksi yang selalu ia pakai di dalam rumah. Langkah kaki membawanya menuju meja kerja di sudut ruang, sebelah kamar tidurnya. 

Di meja kerja itu, laptopnya masih menyala meskipun dalam mode siaga. Sudah menjadi kebiasaan, ia belum memadamkan temannya bekerja itu sebelum yakin benar akan tidur di peraduan.

Kertas bertuliskan tangan milik Tiara ia letakkan di sebelah kanan. Lalu, ia menyalin baris-baris puisi itu pada aplikasi pengolah kata milik Microsoft. Ia ingin menyimpan puisi karya Tiara dalam laptopnya. Agar mudah ia buka kembali dan mudah juga dibagikan ke media sosial. Ia pun mengetik: Bolehkah Kami, Oleh:+ Tiara. 

Selesai mengetik puisi singkat karya muridnya, ia mengambil hape. Kertas berisi tulisan tangan itu ia foto. Gambar puisi itu ia kirimkan ke grup sekolahnya. Setelah terkirim, lelaki tua itu membuka whatsapp web dan menyimpan gambar ketas berisi puisi itu ke dalam laptop. Satu-satunya benda yang setia menemani sejak Uti pergi.

"Semoga teman-temanku yang dua bulan berikutnya pensiun bisa ikut membaca dan memiliki perasaan yang sama denganku," gumam pak guru tua itu.

Setelah memadamkam laptop, ia pun pergi ke kamar, beristirahat. Setelah berbaring ia pun berdoa, semoga esok masih bertemu mentari, mendampingi anak-anak negeri, mengantarkan mereka menjadi pribadi mandiri yang merdeka.

Suasana di Ruang Guru

Guru tua bernama Eko adalah orang terakhir yang memasuki tuang guru ketika jam istirahat tiba. Sebelum ia sempat duduk, ibu Rumiana, sambil menyeduh teh dengan air termos yang ada di meja bagian belakang, berkata dengan suara keras.

"Istirahat! Kalau aku tetap mau istirahat! Aku tidak mau serakah. Kalau sudah pensiun ya, berhenti. Ngapain nyambung-nyambung lagi!"

Para guru berpandangan. Mereka mafhum dengan sikap ibu guru yang temperamental dan suka meledak-ledak jika mengungkapkan pendapat itu. Ibu Rumiana memasuki usia pensiun satu bulan setelah Pak Eko.

"Ya, kalau sudah pensiun ya berhenti to, Bu," timpal Pak Eko setelah ia duduk di kursinya.

"Tapi, kok Pak Eko mau nyambung lagi mengajar? Padahal seharusnya bulan depan berhenti? Jangan serakah, Pak. Berikan kepada generasi muda. Bagian kita sudah habis." Kalimat bernada tuduhan itu dilontarkan bu Rumiana.

Pak Eko membetulkan letak kacamata. Begitulah jika ia resah dan ingin memberikan tanggapan. Andai bu Ana tidak memberikan isyarat jari telunjuk di depan mulut, guru kelas enam itu akan memprotes temannya yang menurutnya tidak paham.

"Bu Rumi, apakah Ibu sudah membaca puisi Tiara sampai habis? Atau ibu menganggap Pak Eko yang membagikan puisi itu mempunyai keinginan untuk terus mengajar seperti permintaan mereka?" Ibu Martha bertanya dengan lembut. 

"Iya, aku sudah baca puisi itu. Tapi, Pak Eko ngirim ke grup kan berarti dia ingin melanjutkan mengajar. Seolah-olah itu permintaan anak-anak? Begitu 'kan?" jawab ibu Rumiana.

"Ha ha ha ...," tawa Pak Eko pecah.

"Lah, kenapa Pak Eko malah tertawa?" tanya bu Rumiana sambil mengernyitkan kening.

"Biar Bu Martha yang menjelaskan. Silakan, Bu!" pinta Pak Eko.

"Begini, Bu. Anak-anak di sekolah kita sudah nyaman dengan guru kelas masing-masing. Oleh karena itu, ketika mereka tahu gurunya akan pensiun, mereka tidak ingin berpisah. Apalagi mereka ditinggalkan di tengah-tengah jalan. Bukan pada saat kenaikan kelas, misalnya. Seharusnya kita apresiasi karya siswa kita dan menjawabnya dengan bekerja lebih baik lagi. Agar, ketika kita berhenti meninggalkan kesan yang baik bagi mereka. Siapa sih yang ingin kehilangan? Tetapi, ketentuan kadang memaksa kita harus berpisah. Bukan begitu, Pak Eko?" jelas bu Martha sambil memandang Pak Eko. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak di benak bu Martha.

Lelaki tua yang lima bulan lalu kehilangan istrinya itu hanya bisa mengangguk. Bayangan Uti berkelebat. Senyumnya yang selalu ia rindukan seakan mengajaknya bercengkerama.

Musi Rawas, 12 September 2022
Salam sehat selalu
PakDSus

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun