Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mereka Bukan Tebu

25 Agustus 2022   22:29 Diperbarui: 25 Agustus 2022   22:51 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: freepik.com

Panas terik matahari di lapangan membuatku haus. Kerongkongan terasa kering. Untuk melepas dahaga, aku mendekati penjual es tebu. 

"Es, Pak?" tanya Kang Penjual.

Aku menganggukkan kepala, mengiyakan.

Mesin pemutar alat peras tebu pun dinyalakan. Bunyinya bising. Namun, kebisingan mesin itulah yang membuat batang tebu telanjang, maksudnya yang sudah dikupas dibelah dua, keluar sarinya. Tebu telanjang dihimpitkan di antara dua silinder besi anti karat yang berputar.

"Kres ...," bunyi batang terimpit besi silinder. Lalu, cur ... air tebu mengucur. Sang penjual mengulang kembali hingga tebu mengering dan kandungan airnya habis.

"Silakan, Pak!" kata Kang Penjual dengan ramah.

Es sari tebu pun kuteguk. Segar. Kerongkongan terasa basah. Dahaga pun sedikit terobati. Sambil meminum es sari tebu, si penjual membuang batang tebu yang sudah gepeng dan kering pada onggokan di samping gerobak. Benar-benar habis manis, sepah dibuang.

Tidak seperti minum kopi hangat, minum es kubuat lambat-lambat. Seseruput demi seruput. Lalu, aku ambil hape dan melihat-lihat linimasa. Siapa tahu ada kabar baru, baik, dan menyenangkan. 

Sedang asyik membuka laman internet di hape, tiba-tiba terdengar jeritan perempuan. Kami yang sedang menikmati es sari tebu sontak mencari sumber suara.

Tidak berapa lama, orang-orang pun berlarian. Aku pun ikut berlari. Es sari tebu yang tinggal separuh kutinggalkan.

"Ada apa, Mas?" tanyaku kepada penjual bakso di pinggir jalan.

"Kecelakaan. Orang tua naik sepeda terserempet sepeda motor," imbuh penjual bakso. Rupanya suara ibu-ibu yang melengking adalah respon atas terjadinya kecelakaan yang menimpa seorang lelaki tua.

Terlihat beberapa orang mengangkat badan renta berbalut baju berbahan dril. Seperti seragam Legiun Veteran RI. Barang dagangan berupa tape singkong, opak, dan klanting goreng, berhamburan di jalan. Sepeda jengki yang tak kalah renta, tergolek lemah.

Melihat sepeda dan dagangan yang diangkutnya, aku teringat dengan Mbah Sarjito. Lelaki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun penjaja tape singkong dan opak.

"Mbah Sarjito," gumamku pelan.

"Bapak kenal dengan orang ini?" tanya seorang lelaki berpakaian seragam.

"Tidak. Tapi saya tahu nama orang ini dan rumahnya di desa Sitiharjo. Sekitar lima kilometer dari sini," jelasku.

"Tolong Bapak setopkan taksi, Mbah ini akan saya bawa ke puskesmas. Sepeda simbah biar saya titipkan di warung," kata saya meminta tolong seorang bapak untuk memanggil taksi. Taksi adalah istilah untuk "angdes", angkutan perdesaan bercat kuning.

"Bagaimana dengan barang dagangannya?" tanya yang lain.

"Jadikan satu saja di dalam tas yang tergantung di sepeda," jawabku.

Tidak lama kemudian, taksi kuning pun datang. Aku naik ke dalam taksi mendampingi Mbah Sarjito dan meminta sopir menuju ke Puskesamas. Tidak sampai dua kilo meter.

Mbah Sarjito cukup terguncang. Matanya terpejam, bibirnya bergetar. Tanganku meraba dadanya. Ada degub jantung yang terpacu. Aku pun lega.

"Kenapa Mbahnya, Pak?" tanya sopir taksi kuning memecah kebisuan selama perjalanan.

"Ini, kata orang-orang terserempet motor. Yang nyerempet kabur. Saya juga lagi minum es tebu. Terdengar perempuan menjerit dan  ramai-ramai, saya mendekat. Ternyata Mbah ini yang mengalami kecelakaan," jelasku.

"Pakai seragam veteran kayaknya, Pak?" tanya Mas sopir.

"Kalau tidak keliru, iya. Saya sebenarnya tidak bertetangga. Hanya, sering membeli tape singkong yang beliau jual. Sambil menikmati tape, Simbah kadang bercerita tentang pengalamannya dahulu ketika masih muda ikut ayahnya bergerilya. Oleh karena itu, setiap bulan Agustus ia berjualan dengan mengenakan seragam kebanggaannya ini, Mas," jelasku.

Aku pandangi lelaki renta Legiun Veteran dengan baju seragamnya yang terlihat masih baru. Mungkin dibelikan anaknya. Anganku pun melayang. Membayangkan ia dan ayahnya dahulu berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak seharusnya di usianya yang sangat senja berjualan mengayuh sepeda sepanjang lima kilometeran. Sementara, ia seorang bekas pejuang. Mereka bukan tebu. Yang dikupas, diperas, lalu sepahnya teronggok menunggu layu. Entah, mataku tiba-tiba menghangat. Lalu, telunjuk kiriku menyeka bulir kecil yang mengembang di sudut mata.

"Bapak menangis?" tanya sopir. 

Ketika itu, mobil taksi berbelok menanjak memasuki area puskesmas yang letaknya di atas bukit.

Musi Rawas, 25 Agustus 2022

PakDSus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun