Mbah Sarjito cukup terguncang. Matanya terpejam, bibirnya bergetar. Tanganku meraba dadanya. Ada degub jantung yang terpacu. Aku pun lega.
"Kenapa Mbahnya, Pak?" tanya sopir taksi kuning memecah kebisuan selama perjalanan.
"Ini, kata orang-orang terserempet motor. Yang nyerempet kabur. Saya juga lagi minum es tebu. Terdengar perempuan menjerit dan  ramai-ramai, saya mendekat. Ternyata Mbah ini yang mengalami kecelakaan," jelasku.
"Pakai seragam veteran kayaknya, Pak?" tanya Mas sopir.
"Kalau tidak keliru, iya. Saya sebenarnya tidak bertetangga. Hanya, sering membeli tape singkong yang beliau jual. Sambil menikmati tape, Simbah kadang bercerita tentang pengalamannya dahulu ketika masih muda ikut ayahnya bergerilya. Oleh karena itu, setiap bulan Agustus ia berjualan dengan mengenakan seragam kebanggaannya ini, Mas," jelasku.
Aku pandangi lelaki renta Legiun Veteran dengan baju seragamnya yang terlihat masih baru. Mungkin dibelikan anaknya. Anganku pun melayang. Membayangkan ia dan ayahnya dahulu berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tidak seharusnya di usianya yang sangat senja berjualan mengayuh sepeda sepanjang lima kilometeran. Sementara, ia seorang bekas pejuang. Mereka bukan tebu. Yang dikupas, diperas, lalu sepahnya teronggok menunggu layu. Entah, mataku tiba-tiba menghangat. Lalu, telunjuk kiriku menyeka bulir kecil yang mengembang di sudut mata.
"Bapak menangis?" tanya sopir.Â
Ketika itu, mobil taksi berbelok menanjak memasuki area puskesmas yang letaknya di atas bukit.
Musi Rawas, 25 Agustus 2022
PakDSus