Misalnya saja, untuk tahapan selanjutnya, anak harus dapat mengoperasikan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Hal ini terasa sulit tanpa adanya alat bantu.
Sedangkan operasi hitung tersebut merupakan dasar agar dapat melanjutkan ke jenjang selanjutnya dalam pembelajaran coding.
Dalam FGD tersebut, mereka yang memiliki kompetensi berbeda, duduk bersama untuk mendiskusikan pemecahan terbaik agar mendapatkan solusi aplikatif sesegera mungkin. Dengan tujuan anak dapat mandiri setelah mengikuti pembelajaran coding di sekolah.Â
Berbagai pendapat terungkap menghangatkan suasana ruangan. Hambatan-hambatan ini harus segera dipecahkan agar mendapatkan solusi lebih tepat.Â
Mengutip salah satu pendapat dari Bu Mariska, selaku ketua Program Studi Informatika, beliau memberikan usulan untuk menggunakan Excell dalam pembelajaran sebagai pondasi dasar, mengetik lancar, matematika sederhana, mengetik sedikit demi sedikit sehingga hasil bagus. Selain itu, program ini akan mengasah sistem kecerdasan bisnis sederhana.
Dari hasil rapat tersebut tentu pendapat masing-masing berbeda dengan argumen berbeda, namun pada intinya semua sepakat, memiliki harapan sama dalam menghasilkan kurikulum informatika berbasis computational thinking untuk sekolah luar biasa.
Usai FGD, selama 2 pekan, pelaksanaan pembelajaran coding di sekolah pun, menjadi lebih berwarna. Pada Rabu, pekan ketiga Februari 2020, para pelatih mengajarkan pembelajaran computational thinking berupa permainan mengikuti perintah dan bergerak sesuai perintah.
Dalam pelaksanaannya, Stella mengaku mengalami hambatan komunikasi. Anak-anak sulit mengerti bahasa perintah darinya. Padahal perintahnya sudah tertulis dengan jelas dalam lembaran kertas, sehingga mereka bisa membacanya selain melihat gerak bibir pemberi perintah.
"Rasanya seperti memberikan pembelajaran kepada anak-anak yang badannya ada di sekitar kita, tapi nyawanya entah di mana," ujar Stella saat menceritakan pengalamannya.