Di daerah tempat tinggal saya saat ini, di area Kiaracondong Bandung, ada 4 masjid yang biasa digunakan sehari-hari untuk berkegiatan. Baik itu salat berjamaah maupun mengaji anak-anak. Namun untuk kegiatan besar berupa acara keagamaan atau pengumpulan Zakat Fitrah hanya ada 1 masjid utama bernama Masjid Miftahul Jannah yang digunakan agar warga tak bingung dan segala sesuatunya lebih tertata. Begitu pun untuk kegiatan salat Idulfitri, hanya masjid utama yang menyelenggarakannya.
Namun, setiap 1 Syawal, pada pelaksanaan salat Idulfitri, jamaah selalu membludak. Masjid bagian bawah yang mampu menampung sekitar 150 orang dan bagian atas yang mampu menampung sekitar seratusan orang tak bisa menampung banyaknya warga di RW 17 yang melaksanakan salat Idulfitri. Biasanya, yang tak kebagian tempat di masjid akan mengikuti kegiatan salat di gang-gang atau rumah penduduk di sekitar masjid. Saat berlebaran di Bandung saya mengikuti kegiatan salat di masjid ini.
Namun, semalam adik saya mengajak salat di lapangan yang letaknya dekat dengan rel kereta api. Katanya, salat Ied di lapangan lebih utama daripada salat di masjid. Karena toh kalau salat di masjid pun tidak kebagian tempat sehingga harus salat di gang yang letaknya bisa puluhan langkah dari masjid. Dan selain itu menurutnya agar lebih berbaur dengan masyarakat sekitar jika di lapangan.
Maka, hari ini, Jumat, 15/06/2018, Kami berangkat dari rumah pukul 06.00 WIB. Begitu sampai lapangan yang jaraknya kurang dari 500 meter, ternyata jamaah lelaki maupun perempuan sudah penuh. Termasuk di antaranya ada juga anak-anak kecil.
Wow, luar biasa sekali antusiasme warga dalam mengikuti salat sunah 2 rakaat yang dikerjakan secara berjamaah dan hanya dilaksanakan usai Ramadhan ini.
Saat takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil bergema dan saling bersahut-sahutan, kereta api berkecepatan tinggi lewat. Meski hanya beberapa detik, bunyi kereta seakan memadamkan suara jamaah yang sedang bertakbir, tasbih, tahmid, dan tahlil.
Saya yang duduk cukup dekat dengan saat kereta lewat, pada awalnya membuka mata, namun kemudian memalingkan wajah dan menutup mata agar tidak kelilipan debu yang terbawa angin oleh kereta berkecepatan tinggi.
Apalagi ketika salat sudah dimulai. Pada rakaat pertama imam membacakan surat Al-Fatihah, kereta api lewat lagi. Suara imam tak terdengar sesaat. Mungkin, itu tak jadi masalah. Tapi, kecepatan kereta api yang diikuti cepatnya hembusan angin menerbangkan sajadah untuk salat hingga menjadi berlipat tak karuan.Â
Selain itu, koran di bagian bawah sajadah pun terbuka dan melambai-lambai memperlihatkan gambar dan tulisan. Meski sempat terganggu tapi saya berusaha untuk khusyu hingga waktu salat selesai.
Ternyata, pada saat Imam naik mimbar dan menceritakan tentang 3 pasukan khusus suatu kerajaan yang mendapatkan tugas dari rajanya, kereta api lewat lagi. Sang penceramah pun menghentikan penuturannya dan menunggu kereta lewat lalu melanjutkan lagi ceritanya.
Sebelum melanjutkan ceritanya, Imam yang sebenarnya bukan asli warga Kiaracondong ini mengatakan, "Ya, inilah seninya salat di lapangan dekat rel kereta api. Tapi, kita masih beruntung bisa salat berjamaah dengan tenang di tempat ini. Coba bayangkan kalau kita sedang ada di Gaza? Mungkin kita tidak bisa salat senyaman dan setenang ini. Mungkin kita akan merasa was-was dan ketakutan dengan adanya bom dan penyerangan lainnya."
Cerita ustadz tentang 3 pasukan itu pun berlanjut.
Semua pasukan mendapatkan tugas dari Raja, apapun yang mereka injak saat melewati sungai nanti harus mereka ambil dan bawa pulang ke istana. Pasukan pertama, karena merasa keberatan mengambil batu untuk dibawa pulang mereka kembali dengan tangan kosong.
Mereka bertanya-tanya, untuk apa sih bebatuan seperti itu?
Sedangkan pasukan kedua, meski taat namun merasa berat kalau harus membawa semua yang diinjak, hanya membawa yang kecil-kecil saja ke kerajaan. Pasukan kedua berpikir, kalau semua yang diinjak harus dibawa, tentunya akan sangat berat.
Beda lagi dengan pasukan ketiga yang sangat taat. Apapun yang mereka injak, seberat apapun yang mereka bawa, mereka tetap berusaha memikulnya dan membawanya ke istana.Â
Begitu ketiga pasukan sampai istana, semua yang mereka bawa dihargai dengan batu permata. Menyesalah pasukan pertama dan kedua. Sedangkan pasukan ketiga sangat bahagia, ketaatannya berbuah permata.
Ketiga pasukan itu ibarat manusia pada bulan Ramadhan. Mereka yang taat, seberat apapun godaan dan ujian dalam melaksanakan perintah akan berusaha untuk melaksanakan sebaik mungkin.
Sang ustadz pun menyambungkan ceramahnya dengan kehidupan sehari-hari yang erat kaitannya dengan seni kehidupan. Segala sesuatu sudah ada yang mengaturnya. Kita tidak boleh sombong karena selama mengarungi arus kehidupan, pasti akan ditemui banyaknya halang rintang dan ujian untuk mengetahui sejauh mana keimanan seorang hamba.
Ceramah yang diakhiri dengan doa itu, seakan ingin mengukuhkan kepada para jamaah, bahwa setelah berakhirnya Ramadhan, masih ada jalan cerita yang harus dilalui semua orang sebagai seni kehidupan atau kesanggupan kita untuk mencapai tujuan dan menciptakan sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan berakhir, tapi kehidupan harus berjalan terus melewati bulan selanjutnya sesuai kehedak-Nya.
Selamat ber-Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1439 H, Kompasianer! Dan selamat menikmati seni kehidupan yang telah Allah Subhanahu wata'ala gariskan untuk semua hambaNya. Semoga kita senantiasa mampu untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam kehidupan ini. Aamiin