Mereka bertanya-tanya, untuk apa sih bebatuan seperti itu?
Sedangkan pasukan kedua, meski taat namun merasa berat kalau harus membawa semua yang diinjak, hanya membawa yang kecil-kecil saja ke kerajaan. Pasukan kedua berpikir, kalau semua yang diinjak harus dibawa, tentunya akan sangat berat.
Beda lagi dengan pasukan ketiga yang sangat taat. Apapun yang mereka injak, seberat apapun yang mereka bawa, mereka tetap berusaha memikulnya dan membawanya ke istana.Â
Begitu ketiga pasukan sampai istana, semua yang mereka bawa dihargai dengan batu permata. Menyesalah pasukan pertama dan kedua. Sedangkan pasukan ketiga sangat bahagia, ketaatannya berbuah permata.
Ketiga pasukan itu ibarat manusia pada bulan Ramadhan. Mereka yang taat, seberat apapun godaan dan ujian dalam melaksanakan perintah akan berusaha untuk melaksanakan sebaik mungkin.
Sang ustadz pun menyambungkan ceramahnya dengan kehidupan sehari-hari yang erat kaitannya dengan seni kehidupan. Segala sesuatu sudah ada yang mengaturnya. Kita tidak boleh sombong karena selama mengarungi arus kehidupan, pasti akan ditemui banyaknya halang rintang dan ujian untuk mengetahui sejauh mana keimanan seorang hamba.
Ceramah yang diakhiri dengan doa itu, seakan ingin mengukuhkan kepada para jamaah, bahwa setelah berakhirnya Ramadhan, masih ada jalan cerita yang harus dilalui semua orang sebagai seni kehidupan atau kesanggupan kita untuk mencapai tujuan dan menciptakan sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan berakhir, tapi kehidupan harus berjalan terus melewati bulan selanjutnya sesuai kehedak-Nya.
Selamat ber-Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1439 H, Kompasianer! Dan selamat menikmati seni kehidupan yang telah Allah Subhanahu wata'ala gariskan untuk semua hambaNya. Semoga kita senantiasa mampu untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam kehidupan ini. Aamiin