Berada di pesisir pantai, lekat dengan lautan di sepanjang jalan. Hanya terlihat ombak dan pohon kelapa yang mengiringi pasir putih. Kampung pelosok terletak di ujung Sumatra Utara. Mata pencaharian penduduk dominan sebagai nelayan, berdagang, dan petani. Ya, itulah kampung kami tercinta.
Tempat kelahiran  nenek moyang hingga turun menurun, membesarkan kami anak-anak perantauan yang sekarang tinggal di perkotaan untuk menuntut ilmu dan mencari hidup yang lebih baik. Kami tumbuh menjadi anak-anak yang kuat dan pekerja keras dari darah warisan orang tua yang terus mengalir tiada henti.
Desa Sundutan Tigo tempat terpelosok dari kecamatan Natal. Tiada yang bisa menandingi keindahan nan rancak dari desa tempat kelahiran kami. Masyarakat yang ramah tamah tiada jarang ada pelancong yang datang berkunjung untuk melihat nikmat Tuhan yang telah tercipta.
Cakrawala nan biru membentang diiringi kicauan burung yang berlalu lalang. Deru ombak yang menghantam karang terdengar seperti bunyi-bunyi ketenangan. Pasir putih yang melambai disentuh angin. Pulau-pulau menjadi penambah kenikmatan mata yang terkagum-kagum akan keindahan Tuhan.
Tidak hanya itu, bila senja mulai menenggelamkan diri, maka hanya tersisa puing-puing keanggunan. Warnanya teriring jingga kemerahan menyinari atmosfer dengan sudut yang lebih miring. Tiada yang bisa menggambarkan betapa rancak kampung kelahiran kami.
Pagi hari, semua orang sudah sibuk untuk mencari sesuap nasi. Nelayan dengan jaring ikan, petani dengan cangkul dan parang, ibu dengan mondar-mandir menyiapkan makanan, dan anak-anak yang bersiap untuk berangkat menuntut ilmu.
Setiap hembusan nafas di pagi itu selalu menenangkan. Dengan kesejukan tanpa polusi yang menganggu sistem organ pernapasan. Embun pagi yang mendinginkan hati beserta isi kepala. Oleh karena itu, masih banyak ditemui orang tua yang berumur 70an tahun yang masih hidup sehat.
Ketika sore hari, maka ayah pulang membawa kebahagiaan untuk anak dan istrinya. Membawa uang jajan dan ikan segar untuk disantap bersama keluarga. Hal yang dirasakan hanyalah kebersamaan dengan bumbu tawa bahagia.
Di tengah kampung, terdapat sebuah masjid tua yang menjadi pusat kegiatan warga. Masjid itu dibangun dengan kayu jati yang kokoh, dikelilingi oleh kebun bunga yang beraneka warna. Setiap sore, anak-anak berkumpul di halaman masjid, bermain petak umpet dan bola, sementara para orang tua berbincang-bincang tentang berita terkini. Suasana hangat dan akrab menyelimuti setiap sudut kampung.
Anak-anak bermain dengan riang tanpa memegang gadget. Semua bersenang-senang dengan dunia permainan. Anak laki-laki bermain kelereng dan kejar-kejaran. Sedangkan anak perempuan bermain lompat tali dan congkak. Terkadang mereka bermain rumah-rumahan sambil memasak untuk dimakan bersama. Walau terlihat tak enak, namun makanan selalu habis tanpa tersisa. Tak terasa haripun mulai maghrib membuat ibu mencari-cari keberadaan kita. Perasaan yang asik bermain enggan untuk pulang, sementara ibu membawa sepotong kayu ditangan sebagai ancaman memukuli, menyuruh kita untuk pergi mengaji. Hingga terdengar bunyi tangis yang mengiringi perjalanan pulang ke rumah karena sudah dimarahi.
Sesampai di rumah, kita dimandikan ibu untuk cepat-cepat pergi mengaji dengan dempulan bedak di pipi kanan dan kiri. Bayangan setelah selesai mengaji hanyalah bermain kejar-kejaran dengan teman lelaki. Terkadang banyak yang menangis karena terjatuh bermain kejar-kejaran. Tak lama orang tua pun menjemput pulang. Bahkan sesekali memilih berjalan pulang bersama teman-teman.
Begitu indah cerita masa kecil. Jika diberi waktu maka akan senang sekali jika mengulang masa-masa bahagia bersama teman. Kehidupan yang indah bersama orang-orang tersayang.
Bayangan dari kisah dua tahun yang lalu, membuat lengkungan senyum di bibir. Terkadang tak sadar air mata menetes di pipi. Kerinduan kebersamaan keluarga dan indahnya kampung halaman. Kini hanya tersisa kenangan manis yang senantiasa dikenang hingga akhir hayat.
Suatu ketika usia beranjak dewasa, kami terpaksa meninggalkan kampung kelahiran demi menggapai cita-cita dan angan. Ayah dan ibu selalu berpesan "Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman".Â
" Jikalau sudah manjadi urang jangan lupo pulang ka kampuang halaman". Sembari ayah memberi petuah untuk anak perempuannya.
Mata berkaca-kaca dengan kesedihan jika harus meninggalkan tempat kelahiran hingga tumbuh menjadi perempuan dewasa. Tiada yang lebih menyedihkan jika harus pergi jauh dari orang terkasih. Hanya terdengar bunyi sunyi dan sepi yang menggema di kepala. Tak jarang menangis di tengah malam bukti betapa menyedihkan hidup jika seorang diri.
Bayangan akan dua tahun lagi, kami akan pulang membawa perubahan. Meninggalkan kerasnya hidup perkotaan. Pulang menjumpai orang-orang terkasih. Hingga membangun kampung halaman, menciptakan kemajuan untuk desa beserta penduduknya.
Tiada yang salah dari mimpi besar. Yang salah hanya pikiran orang-orang yang sempit. Jika ingin kemenangan maka harus menerima segala pengorbanan. Suatu saat nanti akan ada anak perempuan kampung yang berjaya membesarkan nama kampung halaman menjadi kampung nan rancak dipandang.
Harapan orang tua yang telah lama, akhirnya terwujud lewat pembuktian. Kalimat yang senantiasa membuat anak bahagia hanyalah ucapan dari ayah dan  ibu yang mengatakan "Tiada yang sia-sia dari apa yang ayah dan ibu korbankan. Semua terbayarkan oleh apa yang engkau peroleh hari ini. Ayah dan ibu bangga padamu, nak".Â
"Tetaplah hidup dengan memberi manfaat pada orang banyak, nak"Â Sembari ibu ikut menimpali.
Haru biru bahagia menyertai keluarga yang orang lain sering menyepelekan. Kini hanya terdengar tepuk tangan yang mengiringi langkah untuk maju dan sukses dengan doa ayah dan ibu senantiasa mengiringi setiap perjalanan. Menjadikan kekuatan untuk semangat memberi arti di kehidupan orang tua yang berarti.
Kepulangan anak perempuan dari tanah  rantau disambut hangat oleh penduduknya. Menandakan bahwa kita adalah harapan selanjutnya untuk membesarkan kampung tercinta. Membawa perubahan kemajuan dengan asah dan pengalaman. Memajukan kampung nan rancak, kampung tercinta.
Di tengah perubahan zaman, tanah nan rancak tetap mempertahankan nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan pada alam. Masyarakatnya sadar bahwa keindahan yang mereka miliki bukan hanya terletak pada panorama alam, tetapi juga pada ikatan antara sesama. Dengan semangat gotong royong dan kepercayaan akan berkah yang ada, kampung ini terus bersinar, menciptakan cerita-cerita baru yang tak akan pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H