Mohon tunggu...
Apriana Susaei
Apriana Susaei Mohon Tunggu... Administrasi - senang menulis apa saja

sedikit pengalaman, kurang membaca, jarang belajar dari orang lain, banyak merenung dan senang menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menyikapi Kegagalan Timnas U-19

12 Juli 2022   17:05 Diperbarui: 12 Juli 2022   17:08 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trust the process not the results, jargon ini seringkali di ungkapkan oleh para komentator pada pertandingan sepakbola usia muda, baik di level internasional maupun level klub.

Bukannya tanpa sebab, karena dalam pengembangan pemain usia muda, kemenangan bukanlah segalanya. Pengembangan pemain usia muda, sejatinya lebih dititikberatkan pada teknik dasar dan fokus pada hal-hal yang sederhana dalam sepakbola.

Tidak jarang untuk sekelas liga 1, kita masih saja sering mendengar para komentator menilai pemain-pemain senior yang kerap salah umpan dan kurang memahami peran yang seharusnya di pelajari di usia muda.

Namun, harapan penonton Indonesia terhadap timnas sangat tinggi. Antusiasme dan tuntuan mereka terhadap kemenangan timnas u-19 dapat dibuktikan oleh jumlah penonton yang hadir di stadion maupun layar tivi.

Sepakbola adalah olahraga paling populer di Indonesia, jadi wajar harapan itu merupakan bukti cinta penonton terhadap timnas sepakbola. Di tambah, Indonesia pernah juara piala AFF U-19 dalam sepuluh kali gelaran.

Walaupun masih ada kesempatan bagi timnas U-19 berkembang, yaitu pada saat kualifikasi Piala Asia U-20 dan Piala Dunia U-20.

Jalan Terang

Peter Huistra, Direktur Teknik PSSI kala itu menyoroti kurang terorganisasinnya pembinaan sepakbola usia muda di Indonesia, terutama untuk kelompok usia U-10 sampai dengan U-19. Hal ini dikarenakan kurangnya kompetisi dan fasilitas yang baik.

Sejalan dengan waktu, PSSI saat ini telah menciptakan kurikulum Filanesia, filosopi sepakbola Indonesia yang telah disebarkan ke seluruh klub maupun Sekolah Sepak Bola (SSB).

Filanesia disebut sebagai fondasi dan karakter sepakbola indonesia yang di dalamnya memuat penjejangan latihan berdasarkan usia, pengembangan teknik pemain dan ciri-ciri bermain di lapangan.

Pun demikian, seperti di lansir dari akun twitter resmi PSSI, proses club licensing di Indonesia, mengharuskan setiap klub memiliki tim usia muda yang wajib mengikuti kompetisi resmi di bawah naungan PSSI yaitu Elite Pro Academy (EPA) U-20, U-18 dan U-16 serta piala Soeratin U-17, U-15 dan U-13.

Sebuah klub sebenarnya dapat berkontribusi signifikan terhadap prestasi sebuah tim nasional. Tim nasional yang bagus dihasilkan oleh kompetisi yang baik yang pemain-pemainnya diciptakan oleh masing-masing klub sepakbola.

Karena alasan pandemi Covid-19, kompetisi EPA U-18 dan U-16 baru mulai lagi pada akhir tahun 2021 lalu. Kurangnya kompetisi selama dua tahun dan jeda waktu antara kompetisi terakhir dengan kejuaran AFF U-19 mungkin jadi faktor penyebab kurang gereget-nya penampilan timnas U-19.

Adanya program Garuda Select sebenarnya menjadi angin segar bagi pembinaan sepakbola usia muda, namun hal ini dirasa kurang cukup. Mengingat secara teori, proses seleksi secara alami (lewat kompetisi) akan lebih baik jika varian (bibit pesepakbola) yang akan dipilih lebih banyak.

Secara umum, sudah ada jalan terang pembinaan usia muda Indonesia ke depan, yang perlu penonton (penikmat sepakbola) Indonesia lakukan adalah mengawal, mengamati (sampai menikmati) prosesnya, terutama di level klub.

Toh, jika melihat peta persaingan sepakbola usia muda di level ASEAN, prestasi dan perkembangan sepakbola usia muda Indonesia dengan negara tetangga tidaklah  jauh amat-amat, artinya Indonesia bisa bersaing dan mampu bicara banyak.

Untuk itu, pada gelaran AFF U-19 pada tahun yang akan datang, Indonesia masih memiliki kans untuk juara (lagi).

Bukan pekerjaan Instant

Saya adalah penggemar permainan Football Manager. Yang selalu menarik dari games ini adalah bagaimana kita dapat melatih dan menciptakan pemain muda di level klub untuk kemudian pada masa yang akan datang dapat dijual dengan harga selangit.

Tidak jauh dengan kenyataannya, untuk mendapatkan pemain muda dengan label wonderkid, seorang pelatih dan scout harus jeli melihat kemampuan dan potensi pemain muda itu sendiri.

Fase awalnya dilakukan dengan youth recruitment secara intensif oleh scout sebuah klub, fasilitas dan pelatih usia muda juga harus diberikan yang terbaik. 

Dalam beberapa pertandingan, seorang manager juga perlu “menyelipkan” beberapa pemain muda dalam starting line-up. Hal ini terutama untuk membentuk mental bertanding.

Lihatlah bagaimana Manchester United dan Barcelona selalu melakukan tradisi ini. Dibutuhkan proses bertahun-tahun untuk membentuk pemain-pemain yang sangat bagus yang berguna untuk klub di kemudian hari.

Untuk itu, pekerjaan pengembangan pemain muda harus kembali pada klub-klub di Indonesia.

Di level tim nasional, Coach STY nampaknya paham betul kondisi ini, untuk itu dia kerap kali menggunakan jasa pemain muda di level timnas senior. 

Barangkali sikap yang harus kita ambil adalah memulai (lagi) untuk percaya pada proses yang dilakukan oleh klub maupun Coach STY, bukan pada hasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun