“Jangan deket-deket nonton TV-nya, nanti matamu rusak!” kalimat perintah larangan ini dahulu sering kita dengar dari ibu kita di rumah. Zaman telah berubah, dewasa ini anak-anak maupun orang dewasa lebih banyak berlama-lama menonton lewat gawai.
Jarak menonton mereka lewat gawai tentunya lebih dekat daripada menonton televisi (TV).
Beberapa hari yang lalu, ketika menaiki commuter line, saya tidak sengaja memperhatikan bahwa sebagian besar penumpang saat itu berkacamata, termasuk saya. Apakah itu sebuah kebetulan atau memang hanya trend belaka.
Pandemi Covid-19 ternyata ditengarai memengaruhi peningkatan kasus gangguan mata minus (myopia). Menurut laman Kompas, peningkatan kasus ini pada saat pandemi bukan hanya pada orang dewasa namun juga terjadi pada anak-anak.
Laporan WHO tahun 2019 menyebutkan, sebanyak 2,6 Miliar penduduk dunia pada tahun 2020 diperkirakan menderita myopia dan 312 juta di antaranya diderita oleh penduduk di bawah usia 19 tahun.
Selanjutnya, disebutkan pada tahun 2030 diprediksi akan meningkat sebanyak 3,3 Miliar. Masih menurut WHO, perubahan gaya hidup merupakan faktor yang menentukan peningkatan kasus myopia di dunia.
Salah satunya berkurangnya waktu yang dihabiskan di luar ruangan dan meningkatnya aktivitas penglihatan dalam jarak dekat salah satunya adalah lama waktu yang dihabiskan dalam menatap gawai.
Dahulu, orang yang berkacamata diasosiakan dengan kutu buku. Dalam film atau sinetron terkadang juga pengguna kacamata digambarkan sebagai orang-orang cerdas.
Menurut laman Kompas, stereotip orang berkacamata dianggap cerdas sudah ada sejak zaman dahulu. Kacamata sering dihubungkan dengan kesuksesan, kepintaran, ketekunan dan kecerdasan.
Tak heran, pada masa kini orang menggunakan kacamata agar terlihat lebih pintar dan lebih sukses.
Penggunaan kacamata dewasa ini juga menentukan penampilan seseorang, banyak yang menganggap dirinya lebih cantik atau tampan ketika menggunakan kacamata.
Bahkan, saat ini sudah ada retail gerai kacamata yang melakukan pemindaian wajah dengan teknologi tiga dimensi, menganalisanya dan algoritma akan menentukan ukuran dan kacamata yang tepat untuk setiap wajah.
Myopia Boom
Stereotip cerdas berkacamata sekarang sedikit berubah. Belakangan ini, penggunaan kacamata tidak melulu identik dengan kutu buku atau faktor usia. Dahulu, kacamata juga lebih banyak dipakai oleh orang tua yang mengalami rabun dekat.
Anak-anak yang menggunakan kacamata saat ini tidak sedikit jumlahnya. Satu hal yang dahulu jarang kita temui. Perubahan gaya hidup menjadi faktor penentunya selain genetik.
Keberadaan smartphone, tablet bahkan laptop saat ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang dewasa maupun anak-anak terutama di perkotaan, sering terlihat menggenggam dan terpapar layar gawai setiap waktu.
Pandemi (terutama saat semuanya dilakukan secara daring) dan paparan layar gawai setiap waktu menyebabkan kondisi Myopia Boom, kondisi di mana makin banyak orang berkacamata.
Sudah banyak pembahasan yang menghubungkan antara kebiasaan pemakaian gawai dengan penurunan fungsi penglihatan pada anak-anak maupun orang dewasa. Pun begitu dengan trik bagaimana menghindarinya.
Laman Kompas menyarankan, agar anak-anak menghindari menonton gawai terlalu lama untuk menghindari gejala mata minus.
Terlalu lama menggunakan gawai juga dapat menyebabkan Computer Vision Syndrome. Lebih lanjut laman Kompas juga menyarankan cara-cara mengatasinya diantaranya adalah menyesuaikan sudut pandang, mengurangi silau pada layar gawai dan aturan 20-20-20.
Aturan 20-20-20 dilakukan dengan cara mengalihkan pandangan dari gawai selama 20 menit. Kemudian melihat suatu benda yang berjarak 20 kaki atau sekitar 6 meter selama 20 detik.
Budaya Menonton
Stereotip orang berkacamata adalah kutu buku atau gemar membaca juga telah bergeser saat ini. Pergeseran tersebut dikarenakan karena sebagian besar orang berkacamata menggunakan gawai untuk menonton alih-alih membaca.
Masifnya perkembangan teknologi internet dan makin menjamurnya smartphone berharga murah, membuat orang-orang lebih memilih gawai dibandingkan membaca buku. Banyak orang kini menggantikan kegiatan membaca dengan menonton streaming pada gawainya masing-masing.
Dominasi video sebagai format konten digital yang lebih populer dewasa ini juga turut menyumbang rendahnya kegiatan membaca. Pun demikian dengan kegiatan membaca secara digital.
Hal ini diperparah dengan tingginya hobi menonton orang Indonesia sejak dahulu dibandingkan kegiatan membaca. Hobi orang Indonesia menonton televisi dahulu saat ini beralih menjadi hobi menonton pada gawai.
Hobi menonton ini juga sejalan dengan maraknya kasus kecanduan gawai, terutama pada anak-anak maupun orang dewasa dengan seringnya menonton Youtube dan konten-konten video pada media sosial lainnya.
Terlalu lama menonton dan menatap layar gawai dapat berdampak buruk bagi kesehatan mata dan bila hal ini dilakukan secara terusmenerus dapat menyebabkan mata minus.
Pandemi, budaya menonton terlalu lama dan meningkatnya paparan layar gawai berkelindan sempurna dalam menyebabkan menurunnya kesehatan mata. Bisa jadi hal inilah yang menyebabkan makin banyak orang berkacamata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H