Mohon tunggu...
Suryono Brandoi Siringoringo
Suryono Brandoi Siringoringo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku bukan seorang optimis yg naif yg mnghrapkan harapan-harapanku yg dkecewakan akan dpnuhi dan dpuaskan di masa dpan. Aku juga bukan seorang pesimis yg hdupnya getir, yg trus menerus brkata bhw masa lampau tlh mnunjukan bhw tdk ada sesuatu pun yg bru dbwah matahari. Aku hanya ingin tmpil sbg manusia yg membwa harapan. Aku hdup dgn kyakinan teguh bhw skrng aku bru mlhat pantulan lembut pd sbuah kaca, akan tetapi pd suatu hari aku akan brhdpan dgn masa dpn itu, muka dgn muka.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Guru yang Mahir Menulis

16 November 2014   00:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:43 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_375655" align="alignnone" width="600" caption="Kompasiana Nangkring bersama Tanoto Foundation di Medan (Kompasiana/RUL)"][/caption]

Guru adalah sumber ilmu, orang yang serba tahu dan penabur ilmu pengetahuan, penumpas kebodohan dan pahlawan tanpa tanda jasa. Guru adalah jendela ilmu dan orang yang patut ditiru serta seabrek sebutan lain yang disematkan kepada profesi guru. Berbicara tentang guru dalam dunia pendidikan. Guru merupakan garda terdepan, sebagai operator pelaksana pendidikan. Guru bertugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik agar bisa. Bisa disini maksudnya adalah dengan guru, dari yang tidak bisa menulis menjadi bisa menulis, dari yang tidak bisa membaca menjadi bisa membaca, dari yang tidak bisa menghitung menjadi bisa menghitung. Tercapainya atau tidak tujuan pokok pendidikan pun, sedikit banyaknya ditentukan sejauh mana peran guru di lapangan.

Teknologi, Pisau Bermata Dua

Namun ditengah semakin majunya peradaban manusia yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi informasi yang boleh dikatakan sudah sangat susah dipisahkan bagi kehidupan modern. Sebagian besar dari kita setiap kali bangun yang terpikirkan pertama kali adalah mencari gadget, komputer, tablet, dll guna melihat apakah ada informasi terbaru mengenai pertemanan di media sosial, berita nasional, regional hingga mancanegara. Ada tantangan yang harus bisa di jawab oleh para guru dalam mendidik anak didiknya. Terlebih, saat ini sebuah gadget yang lumayan canggih (untuk dapat mengakses internet/Google) bukan lagi termasuk barang mewah/terlampau mahal.

Memang kita sangat berbangga dengan keterbukaan teknologi informasi saat ini yang sangat memberi sisi positif bagi peradaban pendidikan. Adanya internet yang menyebar luas menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia saat ini, semakin memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan akan pengetahuan dan informasi. Hanya dengan menuliskan pada mesin pencari Google atau sejenisnya kita dapat menemukan informasi apa saja (dengan kata kunci yang tepat).

Kalau dulu, karena terbatasnya akses siswa untuk menambah pengetahuan selain dari buku-buku yang diterangkan guru di kelas. Saat ini, selain pengetahuan yang didapat dari guru, siswa dengan mudah menambah pengetahuan materi pengajaran yang sedang berjalan lewat internet. Dengan kata lain, makin berkembangnya teknologi informasi, maka para siswa memiliki kesempatan luas memperkaya pengetahuannya. Namun secanggih-canggihnya kemajuan teknologi internet yang semakin gampang mendapatkan informasi tentu juga tidak semua positif bagi manusia itu sendiri, terlebih bagi siswa. Bagaikan pisau bermata dua tidak hanya banyak hal-hal positif tetapi juga ada hal-hal negatif.

Sayangnya, dampak buruk kemajuan teknologi lebih banyak mempengaruhi anak-anak daripada hal baik. Celakanya, sebagian besar orang tua kita justru membebaskan anaknya menggunakan gadget-gadget keren yang penuh dengan game dan bebas berinteraksi di jejaring sosial tanpa pengawasan ketat orang tua dan justru mendekatkan anak pada tindakan-tindakan buruk. Sebagai contoh, baru-baru ini, dunia pendidikan kita kembali dikejutkan dengan peredaran video aksi kekerasan anak sekolah dasar (SD) terhadap teman sekelasnya di sebuah SD swasta di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.

Adegan di video yang diunggah lewat YouTube itu mempertontonkan seorang bocah perempuan, masih dengan seragam sekolah dasarnya, berdiri tak berdaya di sudut ruangan. Lalu, satu demi satu, teman laki-laki sekelasnya bergantian menyiksa. Ada yang memukul, ada yang menendang dengan lompatan ala kungfu. Si korban hanya bisa menangis. Siksaan itu berlangsung terus-menerus dalam rekaman video sepanjang hampir dua menit.

Peristiwa seperti itu bukanlah yang pertama. Kekerasan di kalangan anak-anak sudah sering terjadi. Sedikit banyak, kita tentu tidak menafikan bahwa kekerasan ini adalah dampak negatif kemajuan teknologi informasi yang terasa sekali bagi tatanan kehidupan manusia, terlebih anak-anak. Ada sejumlah faktor mengapa kekerasan anak terus terjadi di lingkungan lembaga pendidikan kita. Pertama, maraknya tontonan kekerasan yang kini mudah didapat baik melalui televisi maupun media sosial. Makin terbukanya era informasi memang membuat anak semakin gampang mendapatkan berbagai informasi maupun tayangan yang tentu tidak semua positif bagi mereka. Yang kedua, barangkali si anak bisa saja sudah terbiasa memainkan game-game yang berbau kekerasan yang begitu mudah didapatkan di internet, kekerasan dalam game tersebut mensugesti pikiran si anak untuk melakukannya di alam nyatanya.

Nah, selain kejadian di atas, ada banyak lagi dampak buruk kemajuan teknologi informasi yang dialami anak-anak. Perubahan atau kemerosotan kualitas anak didik dan lingkungannya ini akibat kemajuan teknologi informasi ini, niscaya disaksikan para guru dalam pengabdian mereka dalam sehari-hari. Dan tentu saja dalam hal ini, peran guru semakin berat dalam pengabdiannya. Lalu apa yang harus dilakukan guru ditengah semakin maraknya dampak negatif kemajuan teknologi bagi dunia pendidikan?

[caption id="attachment_375660" align="alignnone" width="650" caption="Gerakan Guru Menulis (Sumber Gambar: igi.or.id)"]

14160469751105183538
14160469751105183538
[/caption]

Mengapa Guru Harus Menulis?

Kemajuan teknologi adalah keniscayaan. Melarang anak-anak mengenal internet, tentu kurang bijak karena seberapa banyak pun dampak negatif yang ada, adalah perlu internet dikenalkan kepada anak didik dan mengupayakan siswa-siswi melek teknologi sejak dini. Nah, selain peran orang tua di rumah, guru sebagai pendidik juga memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan anak didiknya untuk bijak dalam menggunakan teknologi. Disilah dituntut agar seorang pendidik itu memainkan perannya sebagai jendela dunia dengan menularkan virus-virus positif dari kemajuan teknologi. Salah satunya, membudayakan menulis di kalangan anak didiknya.

Mesti mampu membekali anak didik cara berpikir kritis lewat membudayakan menulis. Didorong untuk mencintai riset pustaka alias merangsang untuk gemar membaca. Semua ini bisa disinergikan dengan dukungan teknologi yang semakin canggih. Lalu pertanyaannya, mengapa dan apa pentingnya guru menulis? Lalu bagaimana guru menulis?

Pertanyaan diatas, tentunya mudah dijawab tapi tak banyak yang bisa melakukannya. Penyebabnya pun ada beragam alasan. Nah, menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengingatkan kembali pepatah yang mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Yang bermakna bahwa segala tingkah lalu guru akan ditiru oleh anak didiknya. Maka dalam konteks ini, alangkah tidak elok rasanya bila guru menuntut anak didiknya memanfatkan internet untuk pintar menulis tetapi gurunya sendiri tidak menunjukkan contoh nyata bagaimana menulis. Itu makanya setiap guru harus memberikan contoh nyata dengan mengemari menulis.

Lalu pertanyaan berikutnya, apa pentingnya guru menulis? Bila ada banyak guru menghasilkan karya tulis di bidangnya masing-masing, maka ada banyak pemikiran baru yang diabadikan kepada dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Yang tentunya akan semakin mempercepat kemajuan bangsa di bidang pendidikan. Tak hanya itu, bila guru menjadikan dunia tulisan menulis bagian dari hidupnya, tentu juga mampu meningkatkan kualitas mengajarnya di kelas karena dengan menulis otomatis kita semakin banyak membaca.

Dan kita percaya, artikel-artikel, opini, berita dan buku khas yang ditulis para guru juga mampu mengoreksi, menegur, mengkritisi, mendidik, mengajar, menginspirasi, dan memotivasi warga masyarakat Indonesia umumnya dan lingkungan tempatnya mengabdi khususnya. Selain itu, anak didiknya pun tentunya akan mengikuti jejak gurunya yang mahir menulis dan bahkan bisa lebih hebat dari gurunya. Karena bila ini terpenuhi, maka benarlah kata orang bahwa guru adalah jendela ilmu dan orang yang patut ditiru. Lalu, tunggu apalagi para pendidik generasi bangsa? Mari menulis!!!

[caption id="attachment_375663" align="alignnone" width="600" caption="Kepedulian Tanoto Foundation di Bidang Pendidikan (Sumber Gambar:okezone.com)"]

14160472101144939787
14160472101144939787
[/caption]

Peluang Besar Dunia Kepenulisan

Filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge pernah mengutarakan bahwa, “dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi”. Nah, kemajuan peradaban juga ditentukan oleh tiga kekuatan yang saling melengkapi. Posisinya juga bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Yang pertama adalah buku, kemudian membaca dan terakhir menuliskan ide.

Terkait dengan hal ini, fakta menunjukkan bahwa syarat untuk menjadi guru harus lulusan setidaknya S1 yang menempuh profesi di bidang pendidikan. Lazimnya mereka lulusan dari jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan gelar Sarjana Pendidikan atau disingkat dengan S.Pd. Dari gelar akademiknya saja kita sudah yakin, setiap guru telah membaca banyak sekali buku, baik yang langsung menyangkut pendidikan maupun buku-buku humaniora lainnya. Dan dari profesi mereka juga sebagai pendidik, tentu mereka sangat dekat sekali dengan yang namanya buku sebagai bahan mengajar para muridnya. Dan tentunya pekerjaan pokok mereka sehari-hari pastilah membaca buku-buku yang sangat bagus, termasuk buku-buku terbaru.

Akan tetapi hasil pengamatan kita sehari-hari menunjukkan, guru yang bisa dan biasa/kerap menorehkan prestasi dalam dunia kepenulisan di media massa cetak, terutama koran-koran dan tabloid harian serta menulis buku sangatlah langka. Dalam skala blog Kompasiana misalnya, masih sangat sedikit guru yang sering nongol menelurkan karyanya dalam bentuk tulisan. Bila menggunakan kata sedikit, jumlah guru yang biasa menulis di media massa jauh lebih sedikit daripada bidang profesi lain. Kalau memakai kata banyak, bidang profesi lain jauh lebih banyak daripada guru.

Dalam konteks ini, kita tentu percaya bahwa dalam pengabdian sehari-hari, di manapun mendidik, guru pastilah dengan langsung menyaksikan dan mengalami sendiri berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Dengan mudah guru dapat menyimak berbagai perubahan sosial atau perilaku anak didiknya akibat berbagai faktor luar yang menerpa mereka, baik media massa konvensional maupun penggunaan berbagai produk teknologi informasi dan komunikasi mutakhir.

Perubahan atau kemerosotan kualitas anak didik dan lingkungannya ini akibat kemajuan teknologi ini niscaya disaksikan para guru dalam pengabdian mereka dalam sehari-hari. Lalu, sebagai sarjana pendidikan yang pernah belajar banyak ilmu. Pastilah mereka memiliki kemampuan besar untuk memotret berbagai realitas sosial yang mereka hadapi sehari-hari, baik yang dialami oleh anak didiknya maupun oleh ia sendiri. Hasil pemotretan tersebut tentu mesti dimaknai dan/atau dianalisis dari perspektif seorang guru.

Dan tentunya tidaklah sulit atau barang yang begitu berat bagi seorang guru untuk memainkan kata-katanya dalam goresan penanya. Karena, menulis bagi seorang guru bukanlah hal baru lagi. Hampir setiap hari selalu diperhadapkan dengan dunia tulis menulis. Mulai dari menuliskan perangkat pelajaran pembelajaran sampai dengan hal-hal yang bersangkutpaut dengan kepenulisan. Jadi tak ada alasan bila seorang guru mendebat kemudian mempertanyakan “kan tidak semua guru harus bisa menulis”. Lalu pertanyaannya, bila sudah mampu menulis, kemana dibagikan?

Kita saat ini berada dalam arus generasi internet, dimana media tulis akan semakin terbuka lebar. Artinya, sebuah tulisan tidak lagi menunggu media cetak yang jumlahnya terbatas dan harus antri. Penulis memiliki alternatif lain dengan hadirnya  media online, bahkan artikel-artikel atau buku bisa dipublikasikan melalui website atau blog pribadi. Dengan internet kita dapat membuat buku atau artikel tanpa selembar kertas pun! Bahan rujukan atau referensi cukup kita cari di mesin pencari (google, yahoo, atau lainnya). Untuk media tempat menampung karya kita, kita juga dipermudah dengan adanya media jurnal yang ada di internet. Bahkan bila kita sulit memasukkan naskah ke jurnal, kita bisa membuat media sendiri dalam bentuk blog atau web. Mudah bukan?

Selain itu, ada banyak organisasi nirlaba, LSM, perkumpulan informal ataupun aktivis pendidikan yang telah berupaya memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dengan penerbitan buku-buku yang menginspirasi. Salah satunya Tanoto Foundation yang didirikan oleh salah satu pengusaha tersukses di Indonesia, yakni bapak Sukanto Tanoto. Beliau dengan lembaga yang didirikannya pada tahun 2001, merupakan sebuah sarana perwujudan kepedulian terhadap sesama untuk mengatasi kemiskinan. Hal ini berusaha dicapai dengan meningkatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas, memberikan kesempatan pemberdayaan, dan menyediakan sarana utama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Salah satunya bentuk kepedulian Tanoto Foundation ditunjukkan melalui penerbitan karya buku yang berisi kumpulan kisah inspiratif para pendidik. Salah satu buku yang baru-baru ini diterbitkan berjudul “Oase Pendidikan Di Indonesia”. Buku ini berisi kumpulah kisah inspiratif pada pendidik. Panggilan dan kecintaan para penulisnya sebagai pendidik di sekolah mengantarkan mereka memperoleh berbagai pengalaman menarik seputar anak didik, sistem pendidikan dan persoalan-persoalannya. Pengalaman dan interaksi para penulis buku ini dengan anak-anak didik yang disajikan dalam buku ini, mampu memberi inspirasi bagi pembacanya untuk memecahkan kendala dan persoalan-persoalan yang sering ditemukan dalam dunia pendidikan.

[caption id="attachment_375664" align="alignnone" width="300" caption="Guru Kau Penyuluh Hidup Kami (Sumber Gambar: www.anneahira.com)"]

141604737995775259
141604737995775259
[/caption]

Menjadi Guru Yang Mahir Menulis

Nah, tunggu apa lagi? Media tempat para guru menuangkan pengalaman, ide dan pemikirannya telah banyak tersebar atas majunya teknologi informasi. Sama seperti pisau tumpul jika diasah akan semakin tajam. Menulis pun demikian, untuk memberi hidup dalam sebuah tulisan dibutuhkan proses pembelajaran dan latihan seumur hidup. Untuk itulah, di manapun guru mengabdi semestinya mau dan mampu menuliskan hasil pengamatan dan pergulatan batinnya sehari-hari di media, baik media konvensional maupun media nirkonvensional (termasuk media sosial), maupun di media blog. Karya-karya tulis para guru kita harapkan menjadi masukan yang sangat berharga bagi para pejabat lembaga eksekutif (termasuk kementerian pendidikan dan kebudayaan) di semua tingkat, anggota DPRD kabupaten, Kota, dan Provinsi, anggota DPR, para pejabat lembaga judikatif dan para penegak hukum lainnya, bahkan bagi para wartawan.

Kita sangat berharap agar para guru mampu keluar dari zona nyamannya, yang masih terjebak dalam pola lama dengan pembelajaran klasikal yang sangat kurang mampu menumbuhkan minat, bakat, potensi maupun kreatifitas peserta didik. Guru harus mampu mengarahkan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi pelajaran yang sedang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong peserta didik agar dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Jangan lagi para guru terjebak dalam mengajar secara monoton dan menjenuhkan. Melainkan guru harus mampu sebagai pengajar yang memiliki kualitas yang profesional dan kreatif dalam memberikan pelajaran bagi peserta didiknya.

Peran guru dalam proses belajar mengajar, jangan lagi hanya para guru hanya tampil lagi sebagai pengajar (teacher), seperti fungsinya yang menonjol selama ini, melainkan beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manager belajar (learning manager). Hal ini sudah sesuai dengan fungsi dari peran guru masa depan. Di mana sebagai pelatih, seorang guru akan berperan mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya.

Akhir kata,“dibalik keberhasilan seorang siswa dalam meraih kesuksesan tidak terlepas dari peran guru di sekolah”. Seorang guru yang handal dengan segudang prestasi, tentu akan berbeda dengan guru tanpa kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan kemampuan anak didiknya. Inilah saatnya guru menjadi guru yang mengerti zaman dalam menyiapkan generasi yang siap bersaing dalam zaman yang semakin maju. Guru harus mampu menelurkan prestasi di dunia penulisan dan juga menularkan virus-virus budaya menulis yang mampu menjadi inspirasi bagi seluruh peserta didiknya.Semoga ke depannya guru semakin menjadi pendidik yang kreatif, inovatif dan yang akan mengantarkan anak didiknya menjadi generasi yang membawa perubahan berarti bagi negeri ini. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun