Mohon tunggu...
Suryono Brandoi Siringoringo
Suryono Brandoi Siringoringo Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku bukan seorang optimis yg naif yg mnghrapkan harapan-harapanku yg dkecewakan akan dpnuhi dan dpuaskan di masa dpan. Aku juga bukan seorang pesimis yg hdupnya getir, yg trus menerus brkata bhw masa lampau tlh mnunjukan bhw tdk ada sesuatu pun yg bru dbwah matahari. Aku hanya ingin tmpil sbg manusia yg membwa harapan. Aku hdup dgn kyakinan teguh bhw skrng aku bru mlhat pantulan lembut pd sbuah kaca, akan tetapi pd suatu hari aku akan brhdpan dgn masa dpn itu, muka dgn muka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Pengakuan

10 Januari 2015   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:25 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14208714811236903672

Selamat malam bintangku, selamat malam duniaku. Malam ini sangat sepi tanpamu lagi, malam ini aku kembali berjalan dalam kegelapan dan berdiri tanpa terangmu. Aku mengisi cerita dalam lembaran putih dan menghapusnya sehingga semua terlihat kosong.

Tapi tetap saja ada bekas yang tidak akan mengembalikan kertas itu seperti semula.

Dan bekas itu akan selalu menemaniku kemanapun. Erna baru saja menutup buku diary kecilnya, sebulan sudah setelah dia selalu meributkan hal yang sama sepanjang hari dengan Brian.

Kini dia menatap kosong tentang kehidupan yang selanjutnya akan di lalui. Dia hanya mempercayai bahwa waktu akan selalu bersamanya dengan sejuta rahasia. "Kau tahu Brian?" Tanya Erna ketika mereka duduk di dekat air pancur di taman kota.

"Apa?" tanya Brian yang sedang asik memperhatikan orang-orang di sekeliling taman.

"Aku tidak akan pernah melupakan semua yang pernah terjadi antara kita berdua" kata Erna menjelaskan.

"Hahhhahaha... Kau bicara apa Erna, kita tidak akan berpisah. Ingat itu!" Balas Brian tertawa sambil mengacak-ngacak rambut Erna.

"Aku serius Brian" kata Erna merengek.

"Sudahlah, ayo kita pulang." Jawab Brian berjalan dengan senyum tipis di bibirnya.

Brian, akan selalu seperti itu. Dia tidak akan berubah, dia dengan gayanya yang selalu santai dan tidak banyak berpikir tentang apapun dan mungkin juga Erna. Di dalam benaknya, Erna hanya teman asyik untuk ngobrol, bercanda dan berbagi hal yang selayaknya bisa dibagi. Erna, juga akan selalu seperti itu.

Dia tidak akan mampu membedakan kapan itu bercanda kapan itu serius. Baginya, setiap bercerita dengan Erna adalah hal-hal yang paling menggembirakan, hal yang tidak akan bisa di gantikan dengan apapun. Dan dia juga akan selalu lupa untuk mengendalikan rasa yang terkadang muncul secara tiba-tiba.

"Jantungku lemah, kau tahu aku tidak mampu mendengar suara lembut itu, aku kehabisan napas, Van" cerita Erna ke Vani, sahabat dekatnya. Ketika mereka bertemu di sudut ruangan di kampus.

Vani hanya tertawa melihat tingkah laku Erna. "Kau tahu? Semua orang akan merasakan hal sama sepertimu ketika mereka jatuh cinta" kata Vani menanggapi.

"Menurutmu aku sedang jatuh cinta begitu?" Tanya Erna bodoh.
"Ya..."
Erna tersenyum dan mulai berpikir dan Dia mulai tidak bisa mengendalikan dirinya. "aku harus mengaku, iya aku harus mengaku" kata Erna gembira.

"Apa?" "Aku akan mengaku pada Brian bahwa aku suka dia, Van. iya aku akan melakukannya." Ucap Erna kegirangan.

"Hei!!! Kau sadar sesuatu? Perempuan hanya perlu menunggu, kau tidak ada hak untuk bertindak terlebih dulu" larang Vani geleng kepala.

"Tapi, ada saatnya mengaku itu lebih baik, itu tidak akan merendahkanmu jika kau melakukannya dengan hati" kata Erna tersenyum menang.

"Terserah mu saja, jika kau merasa nyaman dengan itu" kata Vani akhirnya.

Erna berlari-lari kecil ketika pagi itu dia menerima telpon dari Brian. Dia mencari tempat aman supaya tidak ada temen-temennya yang usil menganggunya.

Luar biasa kegembiraan Erna suara yang sudah beberapa hari ini hilang karena Erna sendiri berusaha untuk diam beberapa hari karena dia ingin mempersiapkan segala sesuatunya. Dengan pelan-pelan Erna menjawab Brian yang pagi itu sedang menikmati sarapan paginya. "Hei!!! Apa kabar?" Tanya Erna tidak mampu menahan perasaannya.

"Hehehhe, kau selalu seperti itu, aku baik-baik saja."Jawab Brian tertawa.

"Brian, aku ingin mengaku sesuatu padamu" kata Erna sangat hati-hati.

"Apa itu?" Tanya Brian.

"Aku, aku..."

"Apa?" Brian menggoda Erna.

"Sudahlah, aku tidak bisa, ternyata ini lebih sulit dari Matematika" ucap Erna putus asa.

"Hahhahaha... Kau ini seperti berbicara dengan siapa saja, katakan apa yang ingin kau katakan" ucap Brian.

Erna tersenyum kecil. Dan menarik napas panjang. Ini pengalaman pertama buatnya.

Napasnya naik turun dan tangannya mulai gemetaran, ponsel di tangannya mulai basah karena keringat dingin yang mengalir di sela-sela jarinya.

"Hallo.. Erna apakah mau masih di sana" tanya Brian memanggil Erna.
"Eh! Iya. Brian aku di sini." Jawab Erna.

"Lantas, apa yang ingin kau katakan?" Tanya Brian lagi.

Erna menarik napas sekali lagi dengan sekuat tenaga dan suara yang pelan dan gemetaran.

Dia mulai menceritakan semuanya pada Brian. Tentang tawa yang tidak bisa di lupakan.

Tentang bintang yang menjadi cerita, tentang cahaya yang menjadi teman, tentang rasa yang tak bisa di simpannya lagi lebih lama di hatinya. Hingga akhirnya Erna membuat pengakuan bahwa dia sangat menyayangi Brian.

"Iya, Brian aku menyayangimu" kata Erna terbata-bata. "Apa? Aku tidak mendengarnya."Kata Brian menggoda.

"Brian plisss..."

"Aku ingin mendengarnya sekali lagi" "Aku suka Brian" jawab Erna dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

"Hahhahhahah... Baiklah, aku rasa kau sudah di tunggu oleh teman-temanmu, sebaiknya kau kembali." Kata Brian yang memang mungkin mendengar panggilan teman-teman Erna dari kejauhan.

"Tidak, aku ingin mendengar kau mengatakan sesuatu" kata Erna membantah.
"Erna, dengar aku juga suka padamu, tapi sebaiknya kau menemui teman-temanmu, jangan biarkan mereka menunggu." Jawab Brian.

Erna tersenyum kecil dan menutup telpon itu, jawabannya iya tapi Erna tidak puas dengan itu. Rasanya ada sesuatu yang seharusnya lebih dari itu. Rasanya ada sesuatu yang masih di sembunyikan oleh Brian. Tapi Erna tetap tidak menemukan jawaban apapun setelah itu. Dia, berdiri dan menatap kosong akan apa yang sedang di alaminya. Bahwa pengakuannya terlihat sia-sia. Bahwa bintangnya pun hilang setelah itu dan tidak ada apapun setelah itu. Dia kehilangan Brian dengan sebuah pengakuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun