"Paman, apa Paman tidak pernah merasa sedih?" tanya Dika perlahan.
Pak Rudi tersenyum tipis. "Sedih? Untuk apa, Nak?"
"Paman sudah membantu banyak orang, tapi tidak ada yang peduli pada Paman," ujar Dika dengan suara lirih.
Pak Rudi menghela napas. "Dika, kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang seberapa banyak yang bisa kita berikan. Paman berbagi ilmu bukan untuk mendapat balasan, tapi karena Paman ingin orang-orang di desa ini hidup lebih baik."
Dika menggigit bibirnya. Kata-kata Paman begitu dalam. Namun, ia tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang sudah terbantu bersikap seolah-olah Pak Rudi tidak ada.
Malam itu, setelah berbincang dengan ayah dan ibu, hati Dika semakin berat. Ia merasa ada yang tidak adil. Keikhlasan Paman seolah tidak berarti di mata warga desa. Tak ada yang tergerak untuk membantu atau sekadar mengucapkan terima kasih.
Esok paginya, Dika berjalan keliling desa. Ia berbicara dengan beberapa petani dan peternak, menanyakan apakah mereka ingat siapa yang telah mengajari mereka teknik bertani dan beternak yang baik. Beberapa orang hanya tersenyum samar, ada yang bahkan berkata, "Oh, itu sudah lama, saya sudah bisa sendiri sekarang."
Dika semakin kecewa. Ia kembali ke rumah dengan wajah muram.
"Bagaimana, Nak?" tanya Ibu lembut.
Dika menggeleng. "Mereka tidak peduli, Bu. Seolah Paman tidak ada. Seolah semua yang mereka dapatkan itu hasil usaha sendiri."
Ibu tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh arti. "Kita memang tidak bisa mengubah hati semua orang, Nak. Tapi kita bisa memulainya dari diri kita sendiri."