Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung Bakso Jadi Saksi Curhat Mbah Carik @KompasianaDESA

27 Januari 2025   05:53 Diperbarui: 27 Januari 2025   05:53 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi obrolan di warung bakso by ChatGPT

Sore itu, suasana di warung bakso langganan dekat pelataran Candi Borobudur tampak ramai. Aroma kuah bakso yang gurih bercampur semilir angin lembut dari candi yang megah. Para pengunjung, mulai dari wisatawan lokal hingga artis terkenal, sibuk menikmati mangkuk mereka. Di salah satu sudut, seorang lelaki paruh baya dengan kaos sederhana sedang mengaduk mangkuk baksonya perlahan. Dia adalah Mbah Carik, seorang sekretaris desa yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya di desa kecil dekat Borobudur.

Tiba-tiba, terdengar suara lantang dari pintu masuk.
"Woy, Mbah Carik! Kok ada di sini?" seru seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut sedikit memutih.

Mbah Carik menoleh, senyumnya langsung mengembang. "Lho, Luki, Senior! Kok bisa ketemu di sini? Ada angin apa? Bahaya ini kalau Senior sudah turun ke daerah!" candanya sambil berdiri menyambut pria itu.

Pria itu adalah Luki, seorang aktivis pemberdayaan masyarakat yang dulu sering menjadi narasumber di acara-acara pelatihan perangkat desa. Kini, dia mengelola sebuah event organizer yang kerap mengadakan kegiatan di kawasan wisata.

Luki tertawa kecil sambil menepuk bahu Mbah Carik. "Ah, nggak ada acara khusus, Mbah. Kebetulan lagi survei lokasi. Rencananya mau bikin event di Borobudur. Eh, malah ketemu sampeyan di sini."

Mbah Carik mengangguk sambil mengajak Luki duduk. "Pas banget. Borobudur lagi ramai terus sekarang. Tapi, ngomong-ngomong, sampeyan masih sibuk urusan masyarakat nggak? Atau sudah murni jadi EO?"

Luki tersenyum tipis. "Masih ada, Mbah. Sekali aktivis, tetap aktivis. Bukan begitu?"

Percakapan ringan mereka terus berlanjut hingga mangkuk bakso masing-masing mulai kosong. Namun, suasana menjadi sedikit serius ketika Luki bertanya, "Ngomong-ngomong, gimana kabar desa? Terutama soal dana desa untuk ketahanan pangan itu. Harusnya kan jadi penyertaan BUMDes, ya?"

Mbah Carik langsung menghela napas panjang. "Ah, Senior, itu bikin kepala pening. Jadi begini, dana desa itu diatur minimal 20 persen harus dialokasikan untuk ketahanan pangan, lewat BUMDes katanya. Tapi aturan itu keluar pas desa-desa udah selesai bikin Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan APBDes. Gimana nggak bikin kacau?"

Luki mengerutkan dahi. "Lho, kok bisa? Menteri nggak paham proses penganggaran di desa. jangan ngawur sampeyan?"

"lah iyalah!" ujar Mbah Carik dengan nada kesal. "Mereka di Jakarta asal ngomong aja. Menteri Desa itu tahu nggak, prosesnya di lapangan itu kayak gimana? Tahu nggak kondisi BUMDes yang sebenarnya? Banyak BUMDes yang baru jalan, belum paham manajemen bisnis. Kalau tiba-tiba dikasih tanggung jawab besar, bisa-bisa malah tambah berantakan."

Luki mengangguk perlahan. "Berarti, bukan cuma soal aturan, tapi juga kesiapan orang-orang di lapangan."

"Betul! Apalagi sekarang, Dirjen yang ngurus BUMDes itu malah diambil dari orang luar kementerian. Mereka butuh waktu belajar, Senior. Dan parahnya, nggak punya latar belakang bisnis atau pengalaman dengan desa. Jadi ya... begini jadinya."

Luki tertawa kecil. "Wah, kok malah curhat, Mbah?"

Mbah Carik menatap Luki serius. "Nggak cuma curhat. Saya mau titip pesan, Senior. Kalau sampeyan ada akses ke atas, bilang ke Pak Presiden. Pilih pembantu-pembantu yang benar-benar paham kerja dan mendukung asta cita ke-6 beliau. Jangan cuma paham retorika."

Luki terdiam sejenak. Dia tahu betul Mbah Carik adalah pendukung setia Prabowo sejak lama. Bahkan, meskipun hanya seorang sekretaris desa, Mbah Carik selalu memperhatikan detail politik nasional dengan seksama.

"Kenapa sampeyan bilang begini?" tanya Luki akhirnya.

Mbah Carik menghela napas. "Karena saya pengagum Pak Prabowo. Dari zaman beliau memimpin HKTI, ikut konvensi Golkar, sampai sekarang jadi Presiden. Saya tahu, beliau punya visi besar buat Indonesia. Tapi kalau pembantu-pembantunya nggak kompeten, kasihan beliau. Programnya nggak bakal jalan. Yang rugi siapa? Ya kita, masyarakat di bawah ini."

Luki menatap Mbah Carik dengan penuh penghormatan. Meski sederhana, pemikiran Mbah Carik selalu tajam dan penuh kepedulian. "Mbah, kalau semua sekdes kayak sampeyan, mungkin desa-desa kita lebih cepat maju."

Mbah Carik tersenyum tipis. "Ah, itu cuma kata-kata penghibur. Tapi saya serius, Senior. Kalau ada kesempatan, sampaikan ke atas. Jangan sampai program besar Pak Presiden cuma jadi omong kosong gara-gara orang-orang di bawahnya nggak paham cara kerja."

Percakapan mereka terus mengalir hingga sore menjelang malam. Langit di atas Borobudur mulai memerah, menandakan matahari akan segera tenggelam. Sebelum berpisah, mereka saling berjabat tangan erat.

"Semoga sukses dengan event sampeyan, Senior," ujar Mbah Carik.

"Dan semoga desa-desa kita makin kuat, Mbah," jawab Luki sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, Luki tak bisa berhenti memikirkan pesan Mbah Carik. Ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan, baik di tingkat desa maupun nasional. Sore itu, di warung bakso kecil dekat candi, dia kembali diingatkan bahwa perubahan besar sering kali dimulai dari percakapan kecil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun