Luki mengangguk perlahan. "Berarti, bukan cuma soal aturan, tapi juga kesiapan orang-orang di lapangan."
"Betul! Apalagi sekarang, Dirjen yang ngurus BUMDes itu malah diambil dari orang luar kementerian. Mereka butuh waktu belajar, Senior. Dan parahnya, nggak punya latar belakang bisnis atau pengalaman dengan desa. Jadi ya... begini jadinya."
Luki tertawa kecil. "Wah, kok malah curhat, Mbah?"
Mbah Carik menatap Luki serius. "Nggak cuma curhat. Saya mau titip pesan, Senior. Kalau sampeyan ada akses ke atas, bilang ke Pak Presiden. Pilih pembantu-pembantu yang benar-benar paham kerja dan mendukung asta cita ke-6 beliau. Jangan cuma paham retorika."
Luki terdiam sejenak. Dia tahu betul Mbah Carik adalah pendukung setia Prabowo sejak lama. Bahkan, meskipun hanya seorang sekretaris desa, Mbah Carik selalu memperhatikan detail politik nasional dengan seksama.
"Kenapa sampeyan bilang begini?" tanya Luki akhirnya.
Mbah Carik menghela napas. "Karena saya pengagum Pak Prabowo. Dari zaman beliau memimpin HKTI, ikut konvensi Golkar, sampai sekarang jadi Presiden. Saya tahu, beliau punya visi besar buat Indonesia. Tapi kalau pembantu-pembantunya nggak kompeten, kasihan beliau. Programnya nggak bakal jalan. Yang rugi siapa? Ya kita, masyarakat di bawah ini."
Luki menatap Mbah Carik dengan penuh penghormatan. Meski sederhana, pemikiran Mbah Carik selalu tajam dan penuh kepedulian. "Mbah, kalau semua sekdes kayak sampeyan, mungkin desa-desa kita lebih cepat maju."
Mbah Carik tersenyum tipis. "Ah, itu cuma kata-kata penghibur. Tapi saya serius, Senior. Kalau ada kesempatan, sampaikan ke atas. Jangan sampai program besar Pak Presiden cuma jadi omong kosong gara-gara orang-orang di bawahnya nggak paham cara kerja."
Percakapan mereka terus mengalir hingga sore menjelang malam. Langit di atas Borobudur mulai memerah, menandakan matahari akan segera tenggelam. Sebelum berpisah, mereka saling berjabat tangan erat.
"Semoga sukses dengan event sampeyan, Senior," ujar Mbah Carik.