Rohmat berjalan dengan langkah santai, tiket bus di tangannya. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan dan memutuskan pulang lebih awal untuk bertemu keluarganya di Jawa Tengah.
Terminal Pulo Gebang malam itu dipenuhi kesibukan yang biasa. Orang-orang bergegas dengan koper, tas, atau hanya membawa ransel sederhana. Lampu neon menerangi sudut-sudut terminal, sementara pengumuman keberangkatan terus terdengar dari pengeras suara. Di tengah keramaian,Saat dia mencari pintu keberangkatan, sebuah suara memanggil namanya. "Rohmat? Ini kamu, ya?"
Rohmat berhenti dan menoleh, mencari sumber suara. Matanya membulat saat melihat seorang pria dengan senyum lebar. "Handoko! Ya ampun, lama banget kita enggak ketemu!" Mereka saling berjabat tangan dan langsung berpelukan, seperti dua saudara yang sudah lama berpisah.
"Kamu mau pulang ke mana?" tanya Rohmat sambil tersenyum.
"Ke Jogja, Mat. Kamu?"
"Aku juga! Wah, jangan-jangan kita naik bus yang sama," jawab Rohmat antusias. Mereka pun saling menunjukkan tiket, dan ternyata benar, mereka memang naik bus yang sama. Tidak hanya itu, mereka bahkan duduk bersebelahan.
"Ini kebetulan yang luar biasa," kata Handoko sambil tertawa. Keduanya segera naik ke dalam bus yang mulai dipenuhi penumpang. Bus malam yang nyaman itu memiliki kursi yang luas dan berjarak lega. Udara dingin dari AC menambah kesan rileks, sementara suara mesin bus yang halus menciptakan suasana tenang.
Setelah mereka duduk, bus mulai bergerak perlahan meninggalkan terminal. Rohmat menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota Jakarta yang perlahan menjauh. Sementara itu, Handoko membuka obrolan.
"Jadi, sekarang kamu kerja di mana, Mat?" tanyanya sambil melepas jaket.
"Masih di bidang yang sama, Ko. Aku sekarang konsultan untuk proyek kementerian. Banyak kerjaan yang mirip waktu kita jadi pendamping desa dulu. Kalau kamu?"
Handoko tersenyum, matanya berbinar. "Aku sekarang supervisor di perusahaan tambang. Bagian pemberdayaan masyarakat. Pengalaman kita dulu waktu mendampingi desa itu ternyata sangat membantu aku dapat posisi ini."
Rohmat mengangguk, merasa bangga mendengar kabar baik itu. "Keren banget, Ko. Jadi, kamu sekarang sering keliling daerah, ya?"
"Iya, lumayan. Tapi tetap kangen masa-masa dulu, Mat. Kita kerja langsung di desa, berinteraksi sama masyarakat, dan makan bareng di warung sederhana. Banyak pengalaman yang enggak tergantikan."
Percakapan mereka berlanjut, dari nostalgia hingga membahas tantangan pekerjaan masing-masing. Rohmat mulai bercerita tentang proyek barunya, platform Learning Management System (LMS) yang sedang dikembangkan kementerian.
"Platform LMS ini dibuat untuk mempermudah pendamping desa meningkatkan kapasitas mereka. Bayangkan, Ko, tanpa harus tatap muka, pelatihan bisa dilakukan dari mana saja," jelas Rohmat dengan penuh semangat.
Handoko mengangguk. "Bagus itu. Tapi, apa LMS ini bisa membantu mereka yang belum punya sertifikasi profesi? Aku dengar banyak teman-teman TPP yang kesulitan mendapatkan sertifikat karena biaya yang mahal."
Rohmat menghela napas sebelum menjawab. "Memang, Ko, masalah biaya sertifikasi itu berat. Apalagi untuk pendamping lokal desa yang gajinya enggak besar. Saat ini, LMS memang belum terintegrasi langsung dengan sertifikasi, tapi ada potensi besar ke arah sana. Misalnya, pengalaman kerja selama dua-tiga tahun bisa diakui sebagai rekognisi pembelajaran lampau. Kalau ditambah pelatihan dari LMS, mereka bisa langsung uji kompetensi tanpa prosedur rumit."
"Ide bagus, Mat," Handoko menimpali. "Kalau kementerian bisa kasih subsidi biaya sertifikasi atau memanfaatkan data dari LMS, prosesnya bisa lebih murah dan cepat. Aku rasa perusahaan tempatku kerja bisa juga diajak jadi sponsor."
Rohmat tersenyum lebar. "Kalau itu terjadi, akan sangat membantu teman-teman pendamping lokal. Mereka kan ujung tombak pembangunan di desa. Tapi ya, Ko, aku cuma bagian dari tim IT, enggak punya wewenang besar buat mempercepat ini semua."
Handoko tertawa. "Sama, Mat. Aku juga cuma bisa kasih usul di tempat kerjaku. Tapi kita enggak pernah tahu, kan? Kadang ide kecil bisa jadi perubahan besar."
Obrolan mereka terus mengalir hingga malam semakin larut. Bus berhenti di tempat peristirahatan di daerah Subang, tetapi mereka memilih tetap di dalam bus. Perbincangan mereka terasa seperti reuni kecil yang menghidupkan kembali semangat masa lalu.
"Ko, perjalanan ini jadi momen yang luar biasa buatku," kata Rohmat sambil menatap langit malam melalui jendela bus.
"Sama, Mat. Kadang, perjalanan seperti ini mengingatkan kita pada hal-hal penting yang sering kita lupakan," jawab Handoko dengan senyum hangat.
Bus kembali melaju, menembus gelapnya malam, membawa mereka ke tujuan masing-masing. Meski perjalanan ini akan berakhir, persahabatan mereka terasa semakin erat. Takdir telah mempertemukan mereka kembali di momen yang tepat, di sebuah perjalanan yang penuh kehangatan dan harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI