Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Pendamping Desa Menabuh Genderang Perang @KompasianaDESA

23 Januari 2025   12:54 Diperbarui: 23 Januari 2025   17:45 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggunkan ChatGPT

Langit kelabu menggantung rendah, seolah siap menangis kapan saja. Udara dingin pagi itu membawa rasa resah yang tak kunjung reda di dada tiga orang yang duduk bersila di bawah pohon rindang. Tak jauh dari mereka, seorang penjual kopi dengan sepeda tuanya sibuk menuang kopi hitam panas ke dalam cangkir kertas, uapnya melayang-layang di udara.

Sandi, Lila, dan Doni duduk melingkar, masing-masing memegang cangkir kopi di tangan. Suasana hening beberapa saat, hanya suara burung-burung kecil yang memecah sunyi. Di kepala mereka ada satau suara yang sama, kalian bikin surat pengunduran diri segera, itulah pesan yang disampaikan saat menerima undangan untuk datang ke sekretariat pendamping desa

Lila: (menghela napas panjang, memandang langit) "Aku nggak bisa tidur semalaman, kalian tahu? Kepikiran terus soal panggilan itu. Rasanya kayak udah diputusin duluan sebelum kita sempat bicara."

Doni: (mengaduk kopi pelan) "Sama. Aku juga nggak tenang. Mereka jelas-jelas mau kita keluar. Tapi caranya? Suruh kita bikin surat pengunduran diri dan kosongin tanggal. Itu jebakan, La. Begitu surat itu mereka pegang, mereka bisa pakai kapan aja buat 'legalkan' apa yang mereka mau."

Sandi: (menggenggam cangkirnya erat) "Yang bikin aku muak, alasan mereka tuh nggak masuk akal. Dibilang nggak aktif selama Januari? Padahal, baru darpat SK kemarin, SPT aja belum keluar! Mau kerja pakai dasar apa? Ini jelas akal-akalan mereka buat singkirin kita."

Lila: (menatap Sandi dengan mata penuh kekhawatiran) "Aku tahu itu, San. Tapi... kita bisa apa? Mereka punya kuasa. Kalau kita melawan, apa nggak malah jadi bumerang buat kita sendiri?"

Doni: (menaruh cangkir, menatap Lila tajam) "Kalau kita diem aja, La, kita cuma kasih mereka jalan buat terus mainin sistem ini. Aku udah capek ngeliat ketidakadilan kayak gini. Mereka pikir bisa tekan kita cuma karena kita nggak punya dukungan kuat? Salah besar."

Lila: (mengangguk pelan) "Aku ngerti maksudmu, Don. Tapi aku takut. Jujur aja, aku takut kalau ini bakal bikin semuanya lebih buruk."

Sandi: (memandang kedua temannya) "Takut itu wajar. Aku juga takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku sampai tunduk sama mereka. Ini bukan cuma soal kita bertiga, ini soal semua orang yang pernah diperlakukan nggak adil kayak gini. Kalau kita bikin surat itu, kita sama aja kasih mereka kemenangan."

Sejenak suasana kembali hening. Mendung semakin gelap, angin dingin berembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap. Penjual kopi menyeka peluh di dahinya sambil tersenyum kecil ke arah mereka.

Doni: (menyandarkan punggung ke batang pohon) "Gini aja. Kita sepakatin satu hal dulu. Kita nggak bakal bikin surat pengunduran diri, apa pun yang terjadi."

Lila: (memandang ragu) "Tapi kalau mereka paksa...?"

Sandi: (tegas) "Kita nggak bakal tunduk. Mereka mau main tekan, kita lawan dengan cara kita sendiri. Kita dokumentasikan semuanya. Rekam semua yang mereka katakan, simpan bukti-bukti. Kalau kita punya cukup bukti, kita bisa bawa ini ke pihak yang lebih tinggi."

Doni: (mengangguk) "Setuju. Aku bakal bawa alat perekam hari ini. Kalau mereka nekan kita, semuanya bakal terekam."

Lila: (menghela napas, lalu tersenyum kecil) "Baiklah. Aku ikut kalian. Aku nggak mau jadi pion yang dipermainkan kayak gini. Tapi janji, kalau kita gagal, kita hadapi ini bareng-bareng, ya?"

Sandi dan Doni: (serentak) "Pasti."

Mereka bertiga saling menatap, menemukan secercah kekuatan di tengah rasa takut yang masih menggantung. Penjual kopi menghampiri mereka, menyodorkan cangkir tambahan.

Penjual kopi: (tersenyum ramah) "Nggak usah terlalu dipikir, Mas, Mbak. Kalau hatimu tahu kamu di jalan yang benar, ya jalanin aja. Tuhan nggak pernah tidur."

Mereka bertiga terdiam sesaat, lalu mengangguk. Kata-kata sederhana itu terasa menenangkan di tengah derasnya pikiran yang memenuhi kepala mereka.

Langit mendung itu tetap gelap, tetapi di hati Sandi, Lila, dan Doni, ada cahaya kecil yang mulai menyala. Mereka tahu jalan di depan tak akan mudah, tapi mereka juga tahu, selama mereka berdiri bersama, mereka punya kekuatan untuk melawan.

Setelah membayar kopi, mereka bangkit, melangkah menuju kantor dengan langkah yang lebih tegap. Di bawah pohon rindang itu, mereka meninggalkan rasa takut mereka, membawa tekad untuk menghadapi apa pun yang menanti di depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun