Lila:Â (memandang ragu) "Tapi kalau mereka paksa...?"
Sandi: (tegas) "Kita nggak bakal tunduk. Mereka mau main tekan, kita lawan dengan cara kita sendiri. Kita dokumentasikan semuanya. Rekam semua yang mereka katakan, simpan bukti-bukti. Kalau kita punya cukup bukti, kita bisa bawa ini ke pihak yang lebih tinggi."
Doni:Â (mengangguk) "Setuju. Aku bakal bawa alat perekam hari ini. Kalau mereka nekan kita, semuanya bakal terekam."
Lila:Â (menghela napas, lalu tersenyum kecil) "Baiklah. Aku ikut kalian. Aku nggak mau jadi pion yang dipermainkan kayak gini. Tapi janji, kalau kita gagal, kita hadapi ini bareng-bareng, ya?"
Sandi dan Doni: (serentak) "Pasti."
Mereka bertiga saling menatap, menemukan secercah kekuatan di tengah rasa takut yang masih menggantung. Penjual kopi menghampiri mereka, menyodorkan cangkir tambahan.
Penjual kopi: (tersenyum ramah) "Nggak usah terlalu dipikir, Mas, Mbak. Kalau hatimu tahu kamu di jalan yang benar, ya jalanin aja. Tuhan nggak pernah tidur."
Mereka bertiga terdiam sesaat, lalu mengangguk. Kata-kata sederhana itu terasa menenangkan di tengah derasnya pikiran yang memenuhi kepala mereka.
Langit mendung itu tetap gelap, tetapi di hati Sandi, Lila, dan Doni, ada cahaya kecil yang mulai menyala. Mereka tahu jalan di depan tak akan mudah, tapi mereka juga tahu, selama mereka berdiri bersama, mereka punya kekuatan untuk melawan.
Setelah membayar kopi, mereka bangkit, melangkah menuju kantor dengan langkah yang lebih tegap. Di bawah pohon rindang itu, mereka meninggalkan rasa takut mereka, membawa tekad untuk menghadapi apa pun yang menanti di depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H