desa kecil di kaki bukit. Hening hanya dipecahkan suara jangkrik yang bersahutan dari ladang. Waktu menunjukkan pukul 22:45 saat seorang lelaki memarkir motor tuanya di depan rumah sederhana yang gelap. Motor itu berlumuran lumpur setelah menembus jalan pertanian yang basah untuk memperpendek jarak pulang dari balai desa.
Malam itu dingin menyelimutiLelaki itu melepas helm dan mantelnya yang lembap. Tubuhnya terasa lelah, namun ia tetap melangkah masuk ke rumah. Suara napas tenang istri dan anak-anaknya yang terlelap menghangatkan hatinya meski rumah itu dingin tanpa pemanas.
Ia meletakkan barang-barangnya di sudut ruang, mengambil handuk dan sarung, lalu menuju kamar mandi di belakang rumah. Bangunan kecil itu atapnya sudah lapuk, beberapa titik bocor terlihat jelas. Namun, tak ada pilihan lain. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang membuatnya menggigil. "Setidaknya lebih baik dari mandi di sungai," gumamnya mencoba menghibur diri.
Selesai mandi, lelaki itu melangkah ke dapur kecil yang sederhana. Ia menyalakan kompor gas subsidi dengan tabung melon hijau, menuangkan air ke panci kecil, dan menunggunya mendidih. Ketika membuka toples kopi, hanya ada sisa bubuk untuk satu gelas. Ia menghela napas panjang, lalu membuka toples gula yang hanya berisi satu sendok teh terakhir.
"Biarlah," gumamnya, "pahit malam ini sudah cukup melengkapi."
Ia menuang air mendidih ke dalam gelas, menyeruput kopi perlahan. Dari saku jaketnya, ia mengambil sebungkus rokok pemberian Pak Carik, sekretaris desa. "Alhamdulillah," bisiknya, "setidaknya ada rejeki ini."
Dia menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, dan melepas kepulan asap ke udara dapur. Pandangannya menerawang ke langit-langit yang mulai lapuk. Asap rokok dan aroma kopi menyatu, tapi pikirannya melayang jauh.
"Ya Allah, Gusti...," ucapnya lirih. Air matanya mulai mengalir tanpa disadari. "Kenapa cobaan-Mu begitu berat? Baru kemarin aku bersyukur atas SK perpanjangan kontrak, sekarang katanya hanya tiga bulan kalau aku tak ikut sertifikasi."
Dia menyeka air matanya, lalu berkata lagi, "Bagaimana dengan biaya sekolah anak-anak? Bagaimana dengan makan esok hari? Gusti, aku mohon, berilah aku jalan."
Kesedihan semakin dalam. Ia membenturkan kepalanya ke meja kayu di depannya, berharap rasa sakit fisik dapat menenangkan hatinya yang gelisah.
Tiba-tiba suara lembut memecah keheningan. "Kenapa, Nak?"
Lelaki itu terkejut. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri di pintu dapur, menatap dengan wajah penuh kasih. Malu, ia buru-buru menghapus air matanya. Tapi itu sudah terlambat.
"Ada apa, Nak? Kamu ada masalah?" tanya ibunya, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Pekerjaan."
"Cerita saja, jangan dipendam. Nanti kamu tambah berat," bujuk ibunya.
Akhirnya, lelaki itu menceritakan semua, karena baginya pantang berbohong pada ibunya. Tentang kabar kontraknya yang mungkin hanya diperpanjang tiga bulan jika ia tidak segera mendapatkan sertifikasi, dan biaya sertifikasi yang sangat mahal hingga tabungannya tak cukup.
Sang ibu mendengarkan dengan sabar, kemudian berkata dengan tenang, "Kalau memang harus ikut sertifikasi, ikut saja. Nggak usah terlalu dipikirkan."
"Tapi, Bu, biayanya mahal. Tabungan saya sudah habis kemarin buat biaya rumah sakit adi (anaknya)," jawabnya lemah.
Ibu itu tersenyum kecil, lalu berkata, "Kalau satu pedet (anak sapi ) cukup untuk bayar, ya ambil saja."
"Maksud Ibu?" tanyanya bingung.
"Sapi ibu yang dipelihara Lik Rebo itu baru saja beranak dua. Satu pedet untuk mereka, satu untuk ibu. Itu mungkin rejekimu dari Gusti Allah. Ambil saja."
Lelaki itu tertegun. Air matanya kembali jatuh, kali ini bukan karena kesedihan, tapi haru. Ia meraih tangan ibunya yang mulai keriput, menciumnya dengan penuh hormat. "Bu, saya nggak tahu harus bilang apa. Ini terlalu besar untuk saya."
"Sudahlah," jawab ibunya sambil tersenyum lembut. "Rejeki itu datang sesuai kebutuhan. Kamu adalah satu-satunya kebanggaan ibu. Kalau kamu sedih, ibu juga ikut sedih."
Saat itu, istrinya masuk dapur. Melihat suaminya dan ibu mertuanya duduk bersama, ia bertanya heran, "Mas, sudah pulang kok nggak bangunin aku? Bikin kopi juga. Kenapa nggak minta aku saja?"
Ibunya tertawa kecil. "Ngapain dia minta kamu? Dia sudah besar, bikin kopi sendiri juga bisa."
Istrinya ikut tertawa, lalu berkata, "Maaf ya, Mas, gulanya habis. Besok aku beli."
"Nggak apa-apa, Dik," jawab lelaki itu, berusaha menyembunyikan kegundahannya.
Setelah ibunya kembali ke kamar, lelaki itu duduk berdua dengan istrinya. Perempuan itu menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di balik wajah lelah suaminya.
"Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanyanya.
"Iya, Dik. Tadi ibu cuma bilang mau jual pedet di Lik Rebo, katanya biar lik Rebo nggak kerepotan. Aku juga sudah bilang nggak usah, tapi ibu tetap mau," jawabnya, mencoba menenangkan. Â
"Oh, gitu. Ya sudah, besok kita lihat pedetnya," balas istrinya tanpa banyak curiga.
Lelaki itu tersenyum kecil. Namun, di dalam hatinya, ia memohon ampun kepada Gusti Allah karena harus menyembunyikan kebenaran dari istrinya.
Malam itu, meski mereka berbincang ringan tentang anak-anak, lelaki itu tidak bisa mengusir beban dari pikirannya. Sebelum memejamkan mata, ia berdoa dalam hati.
"Ya Allah, jika ini adalah ujian-Mu, kuatkan aku. Jangan biarkan aku terus merepotkan ibuku. Berikanlah aku jalan keluar agar aku bisa menjadi ayah dan anak yang lebih baik."
Lelaki itu akhirnya tertidur dengan sebuah tekad: ia akan berjuang sekuat tenaga demi keluarga dan desa yang ia dampingi. Karena baginya, harapan adalah cahaya kecil yang harus terus dijaga, meski malam terasa gelap dan tak berujung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI