Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi dan Kretek itu Terasa Lebih Pahit Gegara Pendamping Desa @KompasianaDESA

21 Januari 2025   18:34 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:34 3337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menggunakan superAI

Malam itu di sebuah warung kopi sederhana yang terletak tak jauh dari Taman Makam Pahlawan Kalibata, suasana terasa akrab dan santai. Meja-meja kayu berjejer rapi, aroma kopi hitam bercampur asap rokok memenuhi udara. Di sudut ruangan, dua pria duduk saling berhadapan. Mereka adalah Luki, seorang jurnalis lepas dan aktivis peduli desa, dan Sultan, seorang konsultan yang bekerja di Kementerian Desa.

Luki mengaduk kopinya perlahan, memperhatikan Sultan yang tampak serius menyesap rokoknya. "Jadi, Mas Sultan," Luki memulai, "apa kabar soal tenaga pendamping profesional? Saya dengar beberapa teman di lapangan mulai resah."

Sultan menghela napas panjang, meletakkan rokoknya di asbak. "Ah, itu cerita panjang, Mas Luki. Semua bermula dari keluarnya SK perpanjangan kontrak beberapa waktu lalu. Ada yang diperpanjang, ada juga yang tidak, padahal mereka merasa sudah memenuhi semua prosedur."

Luki mengangguk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Jadi, apa sebenarnya yang jadi masalah utama?"

"Masalahnya kompleks," jawab Sultan. "Proses administrasi di tingkat pusat sering kali tidak sinkron dengan realitas di lapangan. Misalnya, banyak tenaga pendamping yang sudah mengisi SPO, melampirkan CV terbaru, dan memenuhi persyaratan SK 143, tapi tetap saja nama mereka tidak muncul dalam kontrak baru."

"Kenapa bisa begitu?" tanya Luki penasaran.

Sultan menyandarkan tubuhnya, matanya menatap jauh ke arah pintu warung. "Kadang ada kendala teknis, seperti sistem yang eror saat proses unggah data. Keterbatasan anggaran mungkin atau bisa saja ada hal non teknis lain, semoga bukan politis."

"Kalau soal sertifikasi?"

"Iya. Tenaga pendamping profesional sekarang diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi tertentu. Tapi pelaksanaannya tidak semudah itu. Misalnya, lembaga sertifikasi yang tersedia belum memadai untuk mengakomodasi ribuan orang dalam waktu singkat. Prosesnya lambat, biayanya tinggi, dan banyak pendamping yang akhirnya terlambat memenuhi syarat."

Luki menyesap kopinya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. "Tapi bukankah seharusnya ada solusi sementara? Maksud saya, apa kementerian tidak memberikan toleransi?"

Sultan tertawa kecil, getir. "Masalahnya, regulasi itu sudah tertulis. PP 43 dan 47, serta Permendes nomor 4 tahun 2023, semuanya menegaskan bahwa tenaga pendamping yang tidak bersertifikat hanya diberi waktu dua tahun sejak peraturan itu berlaku. Artinya, batas akhirnya adalah April tahun ini."

"Lalu, bagaimana dengan yang tidak sempat menyelesaikan sertifikasi?" tanya Luki lagi.

"Ya... mereka harus siap-siap kehilangan kontrak," ujar Sultan sambil menghela napas. "Dan inilah yang membuat lapangan semakin gaduh. Banyak pendamping yang merasa diperlakukan tidak adil, terutama mereka yang sudah lama mengabdi. Mereka merasa prosedur ini hanya menambah beban tanpa melihat kontribusi mereka selama ini. Teman-teman pendamping yang merasa dirugikan sebenarnya mestinya mengadu ke Ombudsman RI, bukan membangun kekuatan dengan jaringan politik."

"Apakah ada yang sudah mencoba mengadu?"

"Oh, tentu. Beberapa teman sudah membawa kasus ini ke media dan ke pemda dan mengadu ke dewan," kata Sultan. "Mereka berharap ada rekomendasi untuk memperbaiki sistem atau setidaknya memberikan waktu tambahan. Tapi sampai sekarang belum ada hasil yang konkret."

Luki mengangguk pelan, tangannya sibuk mencatat. "Kalau begitu, bagaimana pendapat Mas Sultan sendiri? Apa solusi terbaik?"

Sultan menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab. "Menurut saya, yang dibutuhkan adalah fleksibilitas. Sistem sertifikasi bisa dibuat lebih sederhana, dan pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme jarak jauh untuk uji kompetensi. Teknologi kan sudah maju, kenapa tidak dimanfaatkan? Selain itu, tenaga pendamping yang sudah lama bekerja seharusnya diberi penghargaan, diberikan kemudahan, bukan malah dipersulit."

Luki tersenyum kecil. "Ide yang bagus. Tapi saya tahu itu pasti sulit diwujudkan di birokrasi kita yang terkenal lamban."

Sultan tertawa, kali ini lebih lepas. "Benar, Mas. Lamban dan penuh intrik. Tapi kita tidak boleh berhenti mencoba. Kalau kita diam saja, keadaan tidak akan pernah berubah."

Mereka berdua terdiam sejenak, masing-masing larut dalam pikirannya. Suara kendaraan yang melintas di jalan raya dan percakapan pengunjung lain menjadi latar yang mengisi keheningan.

"Jadi, apa langkah selanjutnya?" Luki akhirnya bertanya.

"Langkah selanjutnya adalah mendorong dialog antara pemerintah pusat dan para pendamping," jawab Sultan tegas. "Kita harus memastikan suara mereka didengar. Kalau tidak, sistem ini hanya akan menjadi beban tanpa manfaat."

"Terdengar seperti tugas berat," ujar Luki, menutup bukunya. "Tapi kalau ada yang bisa melakukannya, saya yakin Mas Sultan adalah orangnya."

Sultan tersenyum, kali ini dengan penuh keyakinan. "Terima kasih, Mas Luki. Kita harus optimis. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?"

Malam itu, diskusi mereka ditutup dengan secangkir kopi lagi dan janji untuk terus memperjuangkan hak-hak para tenaga pendamping. Di luar, angin malam berembus sejuk, seolah menyampaikan pesan bahwa harapan selalu ada selama masih ada yang mau berusaha.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun