Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pagi Ditemani Bubur Barobbo dan Cerita Nasib Pedamping Desa @KompasianaDESA

20 Januari 2025   15:36 Diperbarui: 20 Januari 2025   18:14 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barobbo ( Sumber : idntimes.com )

Pagi yang masih segar di kota ini terasa seperti sebuah undangan untuk petualangan rasa. Sudah menjadi kebiasaanku, jika menginap di kota baru, pagi hari harus diawali dengan mencicipi sarapan khas daerah tersebut. Bubur nasi menjadi pilihanku, bukan bubur kacang hijau atau bubur ketan. Namun kali ini, saran seorang teman memanduku ke sesuatu yang berbeda: bubur barobbo, bubur jagung khas Sulawesi yang disajikan dengan aneka topping dan sayuran. 

Penasaran, aku bertanya pada petugas penginapan, "Di mana saya bisa menemukan bubur barobbo yang enak?" 

"Oh, dekat saja, Pak. Jalan kaki ke pasar di ujung jalan itu, ada warung terkenal. Cari saja Bu Maya," jawabnya dengan ramah. 

Berbekal petunjuk itu, aku melangkahkan kaki menuju pasar. Jalanan kota ini cukup tenang di pagi hari. Tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit, aku sampai di sebuah warung kecil dengan aroma masakan yang menggoda. 

"Bubur, Nak?" seorang ibu setengah baya menyapaku begitu aku mendekat. 

"Iya, Bu," jawabku sambil tersenyum. 

"Pakai apa?" tanyanya sambil menunjuk beberapa pilihan topping seperti suwiran ayam, sayur bayam, dan kerupuk. 

Karena ini pertama kalinya aku mencoba, aku berkata, "Beri saya yang paling spesial, Bu."  

Tak butuh waktu lama, semangkuk bubur barobbo tersaji di hadapanku. Warna kuning jagung dengan aroma gurih yang khas langsung membuatku penasaran. Aku mencicipinya perlahan. Rasanya memang berbeda, tapi nikmat. Tekstur jagung yang lembut berpadu dengan kaldu gurih, sayuran segar, dan taburan bawang goreng sungguh memanjakan lidah. 

Sedang asyik menikmati buburku, seorang pemuda menghampiri. Dia terlihat ragu sejenak, lalu bertanya, "Pakde Koco, ya?" 

Aku menoleh, sedikit terkejut. "Iya, benar. Kamu siapa?" 

"Sendiri, Pakde?" tanyanya, tak langsung memperkenalkan diri. 

"Sendiri. Biasa, urusan kerjaan jalan sendiri. Kalau jalan-jalan baru sama keluarga," jawabku santai. 

Pemuda itu duduk tanpa permisi, tampaknya mengenalku dari ruang diskusi online atau grup WhatsApp. Wajahnya asing, tapi panggilan "Pakde" membuatku yakin dia adalah salah satu anggota komunitas diskusi. 

"Pakde, saya dengar SK perpanjangan beberapa pendamping desa nggak diperpanjang," katanya membuka pembicaraan. 

"Ya, wajar saja. Kalau nggak memenuhi syarat, ya nggak diperpanjang," jawabku tenang sambil menyendok bubur. 

"Tapi, Pakde, ada teman saya. Kinerjanya bagus sekali, tapi dia juga nggak diperpanjang. Kasihan." 

Aku mengangkat alis. "Bagus menurut siapa?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam. 

"Menurut saya, Pakde. Dia kerja keras, bahkan kemarin sangat aktif mendukung caleg dan capres." 

Aku tersenyum tipis. "Nah, itu dia. Ukuran 'bagus' kamu yang perlu diperjelas. Kalau ukurannya soal politik, itu urusan lain. Dalam pekerjaan pemberdayaan, kriteria 'bagus' tidak diukur dari aktivitas politik." 

Pemuda itu tampak kikuk. "Waduh, saya salah nih ngobrol sama Pakde." 

"Kok salah?" tanyaku. 

"Pakde bukan dari partainya Gus Menteri, ya? Saya kira Pakde sangat mendukung SDGs Desa, program Gus Menteri." 

Aku tertawa kecil. "Kamu salah lagi. Semua ide baik untuk desa, layak saya dukung. Tapi dukungannya pada program, bukan pada partai. Ini yang perlu kamu pahami." 

Dia mengangguk pelan, tampak berpikir. Aku melanjutkan, "Proses perpanjangan kontrak pendamping itu ada aturannya. Kalau merasa ada ketidakadilan, adukan saja ke Ombudsman." 

"Pakde, pendamping desa nggak boleh berpolitik?" tanyanya penasaran. 

"Boleh, nggak ada larangan. Tapi berpolitiklah dengan baik. Jangan menyakiti atau mengintimidasi teman. Kalau kena karma, baru nanti menyesal. Apalagi kalau hubungan dengan desa dampingan jadi tidak nyaman karena beda pandangan." 

"Tapi, dengar-dengar, penerimaan pendamping nanti perlu rekomendasi partai, Pakde." 

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Jangan mudah termakan isu. Kalau memang ada bukti, laporkan saja." 

"Lapor ke mana, Pakde?" tanyanya dengan nada penuh selidik. 

"Lapor ke RPDN, ha-ha-ha!" jawabku sambil bercanda, membuat suasana kembali cair. 

Dia tertawa kecil. Aku mencoba menutup pembicaraan dengan komentar santai, "Bubur barobbo ini enak juga ya, Mas. Pagi-pagi bagsawan ngga mungkinmakan bubur ini." 

"Bangsawan, Pakde?" tanyanya bingung. 

"Dulu bubur ini hanya disajikan untuk kalangan bangsawan," jelasnya. 

"Nah, itu dia. Bangsawan nggak mungkin makan barobbo pagi-pagi," sahutku sambil terkekeh. 

"Loh, kok gitu, Pakde?" 

"Bangsawan itu, kalau dalam Bahasa Jawa, adalah singkatan dari bangsa tangi awan---orang-orang yang bangun siang!" 

Tawa kami pecah bersamaan, disusul tawa Bu Maya, si penjual bubur. Suasana pagi itu terasa ringan dan akrab. 

Kami masih berbincang sejenak tentang kondisi pendamping desa, politik lokal, dan tantangan pembangunan desa. Namun, sekitar setengah jam kemudian, pemuda itu pamit. Katanya, dia harus segera ke tempat lain. 

"Pakde, makasih ya atas nasihatnya. Semoga ada rejeki waktu ketemu lagi." 

Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kerja baik itu lebih penting daripada politik jangka pendek." 

Setelah dia pergi, aku melanjutkan obrolan santai dengan Bu Maya sambil memesan secangkir teh dan sebungkus pisang goreng. 

"Asyik juga obrolannya tadi, anak aktifis partai ya ?" tanya Bu Maya sambil menyusun mangkuk-mangkuk bekas pelanggan. 

"Bukan, saya jurnalis, dan kebetulan akrab dengan teman teman yang mengikuiti program saya" kataku sambal menyalakan batang rokokku. Selesai makan kalo ngga ngerokok rasanya ada yang kurang sempurna.

Pagi di kota kecil ini menjadi salah satu tambahan catatan kuliner bubur pagiku. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun