"Dulu bubur ini hanya disajikan untuk kalangan bangsawan," jelasnya.Â
"Nah, itu dia. Bangsawan nggak mungkin makan barobbo pagi-pagi," sahutku sambil terkekeh.Â
"Loh, kok gitu, Pakde?"Â
"Bangsawan itu, kalau dalam Bahasa Jawa, adalah singkatan dari bangsa tangi awan---orang-orang yang bangun siang!"Â
Tawa kami pecah bersamaan, disusul tawa Bu Maya, si penjual bubur. Suasana pagi itu terasa ringan dan akrab.Â
Kami masih berbincang sejenak tentang kondisi pendamping desa, politik lokal, dan tantangan pembangunan desa. Namun, sekitar setengah jam kemudian, pemuda itu pamit. Katanya, dia harus segera ke tempat lain.Â
"Pakde, makasih ya atas nasihatnya. Semoga ada rejeki waktu ketemu lagi."Â
Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kerja baik itu lebih penting daripada politik jangka pendek."Â
Setelah dia pergi, aku melanjutkan obrolan santai dengan Bu Maya sambil memesan secangkir teh dan sebungkus pisang goreng.Â
"Asyik juga obrolannya tadi, anak aktifis partai ya ?" tanya Bu Maya sambil menyusun mangkuk-mangkuk bekas pelanggan.Â
"Bukan, saya jurnalis, dan kebetulan akrab dengan teman teman yang mengikuiti program saya" kataku sambal menyalakan batang rokokku. Selesai makan kalo ngga ngerokok rasanya ada yang kurang sempurna.