"Wah, Pakde, maaf ya, aku nggak bisa lama menemani. Sebatang rokok dan secangkir kopi saja cukup ya," katanya sambil tersenyum.
Aku tertawa kecil. "Lah, kamu nggak datang juga nggak apa-apa.aku kesini khan bukan mau ketemu kamu "
"Nggaklah, Pakde. Saya kan sudah janji. Kalau ke sini, harus ketemu Pakde. Kemarin ada undangan rapat koordinasi pendamping. Perjalanan saya cukup jauh, jadi ya, cuma bisa sebentar."
Yang penting, katanya, dia ingin memastikan aku.. Dengan cekatan, dia mengeluarkan ponsel. "Pakde, kita foto bareng dulu, ya, biar aku pamer ke teman-teman," katanya sambil tertawa.
Setelah beberapa jepretan, aku menggoda, "Kamu pendamping kok masih konvensional gitu? Masak rapat koordinasi harus ketemuan fisik. Nggak bisa online aja, apa?"
Dia tersenyum lebar. "Pakde ini, ya. Memang sih, rapat kerja secara online itu lebih hemat waktu dan biaya perjalanan, lebih efisien, komunikasi lebih mudah, dan mengurangi risiko. Tapi..."
"Lah, kok masih pakai 'tapi'? Nggak malu sama warga desa dampingan yang sudah serba digital? Kabupaten ini kan masuk lokus desa cerdas," selorohku.
Dia tertawa kecil, lalu mengangguk setuju. "Iya, Pakde. Online itu sebenarnya bisa jadi contoh nyata buat warga desa. Bisa mendorong mereka mengimplementasikan desa digital. Tapi ya, belum semua nyaman dengan cara itu."
Ibu Darmi, yang dari tadi mendengarkan, tiba-tiba nimbrung. "Saya saja kalau rapat jumantik, urusan jentik nyamuk itu, pakai WA conference, Mas."
Mendengar itu, aku tertawa keras. "Nah, dengar tuh! Ibu jumantik aja sudah digital. Kamu ini, katanya pendamping profesional, kok masih tradisional begitu?"
Pecahlah tawa dia bersamaan dengan Bu Darmi. Sambil menunduk malu-malu, kawan aku berkata, "Pakde bikin aku malu aja."