Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Desa - Kopi - Tembakau

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Pendamping Desa diantara Asap Rokok dan Kopi di KOPI in TOWN #KompasianaDESA

10 Januari 2025   15:42 Diperbarui: 10 Januari 2025   15:42 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantai empat Pasar Pagi Mangga Dua, di kawasan yang dikenal dengan sebutan Kopi in Town, menjadi saksi pertemuan saya dengan Om Rudi, seorang konsultan pemberdayaan masyarakat yang kini aktif menggeluti bisnis kopi. Di salah satu sudut kedai Kopi & Beauty, kami duduk santai di ruang untuk perokok, menikmati semilir angin dari jendela besar yang menghadap ke hiruk-pikuk Jakarta. 

"Om Rudi, apa kabar bisnis kopimu?" saya memulai pembicaraan. 

Om Rudi, yang tampak bersemangat meski garis-garis lelah masih membekas di wajahnya, tersenyum. "Masih berusaha bangkit, Cah Bagus, setelah pandemi. Banyak rencana yang tertunda, tapi pelan-pelan kita jalani lagi. Kopi Mamaku Lampung ini salah satu andalanku sekarang." 

Saya mencicipi kopi di cangkir saya, merasakan aroma yang khas dan rasa pahit yang lembut. "Enak sekali, Om. Kopi ini pasti bisa jadi andalan." 

Om Rudi tertawa kecil. "Iya, Cah Bagus. Tapi kopi nggak cuma soal rasa. Ada cerita di balik biji-biji kecil ini. Desa-desa di Lampung jadi bagian penting dalam perjalanan ini. Dulu, saya sempat membantu Kemendesa mengembangkan desa wisata berbasis kopi. Ada 128 desa wisata kopi yang masih saya ingat sampai sekarang." 

Saya mengangguk, kagum. "Wah, desa wisata kopi. Pasti itu program yang menarik." 

"Memang," jawab Om Rudi sambil menyeruput kopinya. "Tapi membangun desa wisata itu bukan sekadar memoles desa jadi cantik. Harus ada keberlanjutan, ada pemberdayaan ekonomi untuk warganya. Itu kenapa pendamping desa jadi penting. Mereka ini ujung tombak." 

Saya mencondongkan tubuh, tertarik dengan arah pembicaraan. "Menurut Om Rudi, apa posisi pendamping desa saat ini sudah cukup kuat?" 

Om Rudi menghembuskan asap rokoknya pelan sebelum menjawab. "Pendamping desa itu sangat diperlukan, Cah Bagus. Tapi mereka harus paham cara mengembangkan bisnis untuk warga. Jangan cuma jadi pendamping administratif. Mereka perlu membantu warga desa memanfaatkan potensi lokal seperti kopi ini, biar desa bisa mandiri secara ekonomi." 

"Setuju," jawab saya. "Lalu, bagaimana menurut Om tentang Menteri Desa sekarang?" 

Om Rudi tersenyum samar. "Menteri Desa yang sekarang mestinya belajar dari kebijakan Gus Halim, Cah Bagus. Ada banyak hal baik yang sudah dimulai Gus Halim soal tenaga pendamping, dan itu perlu diteruskan oleh Menteri Yandri." 

Saya mendengarkan dengan saksama saat Om Rudi melanjutkan, "Misalnya, pendamping profesional didorong untuk sertifikasi dan peningkatan kapasitas mandiri. Itu penting supaya mereka punya standar kerja yang jelas. Lalu, Gus Halim juga membangun jenjang karier, fokus penerimaan hanya untuk Pendamping Lokal Desa (PLD), dan kinerja mereka diukur dengan aplikasi. Kalau mau profesional, ya begitu caranya." 

"Jadi, kenapa penting hanya menerima PLD?" tanya saya, ingin tahu lebih dalam. 

Om Rudi mengangguk mantap. "Karena biaya pelatihan dan peningkatan kapasitas itu nggak murah, Cah Bagus. Kalau terus menerima orang baru, mereka butuh waktu lama untuk memahami desa dampingan. Padahal, desa itu punya karakteristik unik. Gus Halim sudah meletakkan dasar yang baik. Jangan sampai ini tidak diteruskan." 

Saya mencatat poin pentingnya dalam kepala, lalu menambahkan, "Seperti Presiden Prabowo, ya, yang komit meneruskan hal baik yang sudah dimulai Presiden Jokowi?" 

"Persis," kata Om Rudi sambil tersenyum. "Pak Prabowo paham pentingnya kesinambungan. Menteri Desa juga harus begitu." 

Kami berbincang hingga sore, ditemani secangkir lagi Kopi Mamaku Lampung. Pembicaraan ini bukan hanya soal kopi, tapi tentang bagaimana desa-desa di Indonesia bisa bangkit dan mandiri. Saat kami berpisah, saya merasa ada semangat baru untuk terus memperjuangkan desa dan pendampingnya. 

Di luar kedai, Jakarta mulai sibuk dengan lampu-lampu kendaraan yang menyala seperti kunang-kunang. Tapi di kepala saya, cerita tentang pendamping desa dan secangkir kopi tetap hangat, mengingatkan bahwa di balik setiap perjuangan, selalu ada potensi besar yang menunggu untuk diwujudkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun